![]() |
Menulis itu gampang, tapi butuh latihan. |
Tersebab itu pula, tidak heran
ketika para murid ini menyandang predikat sebagai mahasiswa, mereka tiba-tiba
gagap di dalam menulis. Ini tampak ketika mereka tengah menyusun skripsi.
Mereka bahkan tak memiliki cukup kemampuan untuk menceritakan setuntas-tuntasnya
mengenai pengalaman meneliti mereka. Mereka lebih sibuk mengurusi kata-kata,
kalimat, atau paragraf yang mereka tulis. Bukan tentang apa yang sedang atau
telah mereka lakukan.
Bagaimana dengan dosen mereka?
Entahlah. Saya tak punya jawaban. Yang jelas, bisa jadi sekarang ini tengah
terjadi sebuah aturan main baru, yaitu “dilarang mengarang di dalam kelas”.
Mengapa aturan itu seolah-olah
ada? Mungkin karena sekarang ini orientasi para pengelola sekolah hanya
meluluskan murid. Apalagi ketika harus berhadapan dengan Ujian Nasional yang
selama ini menjadi momok. Ini juga didukung oleh aturan para kepala daerah yang
dengan semangat menggebu membuat slogan “LULUS 100%!” yang diartikan semua
murid harus lulus. Bukan 100% kualitasnya, melainkan kuantitasnya.
Oh, betapa gagapnya kita saat ini
di dalam menyikapi perkembangan zaman. Yang penting tampak mewah. Soal
lain-lain, tetaplah menjadi persoalan lain yang cenderung disisihkan. Lalu,
tiba-tiba “terkejut” melihat kemewahan yang kosong dan melompong, hingga segala
upaya “diada-adakan”. Pelatihan ini, pelatihan itu. Workshop ini, workshop itu.
Tetapi, tak jelas juga jluntrungannya. Semua kembali pada “kekeliruan yang
dibiasakan” setelah semua dilakukan. Ya, kita kembali menjadi penikmat
kemewahan yang melompong. Menyembunyikan dan menyamankan diri di dalam ruangan
yang disemprot freon. Memaksa agar metabolisme tubuh tak mampu mendesak dan
memaksa keringat untuk keluar lewat pori-pori. Kita bahkan memaksakan agar
segala imaji dan fantasi tak boleh meruang dalam pikiran. Sampai-sampai tak
cukup waktu untuk melakukan terobosan-terobosan. Yang kita lakukan hanya
menyiasati apa-apa yang dianggap masalah yang menyusahkan. Ya, kita kembali tak
ingin disusahkan oleh masalah. Padahal, hidup adalah himpunan masalah yang berkelindan.
Bertumpang tindih.
Oh, betapa dan betapa. Kita sudah
terjerembab di dalam “Sumur Tanpa Dasar” sebagaimana yang ditulis Arifin C.
Noer. Maka, sulit bagi kita untuk mentas dari sumur itu. Tetapi, bukan berarti
kita tak bisa naik ke permukaan kembali. Satu-satunya jalan untuk bisa naik ke
permukaan, kita perlu membaca dinding-dinding sumur yang ada di sekeliling.
Menggapainya dan memanjatnya.
Tentu, keringat akan mengucur
deras di sekujur tubuh. Bahkan, sangat mungkin bedak, gincu, atau hal-hal lain
yang menopengi wajah kita akan luntur atau harus dilepas. Bisa jadi pula,
pakaian necis tak lagi dibutuhkan. Jas, dasi, dan sepatu pantovel tak lagi
diperlukan, karena hanya menghalangi gerak tubuh. Kita mesti berakrab dan
berkarib dengan lumpur yang membalur sekujur tubuh. Di sinilah kemudian
dibutuhkan kesanggupan, karena kemampuan bukanlah tolok ukur. Kemampuan hanya
efek dari kesanggupan. Tetapi, kesanggupan ini juga harus dibarengi dengan
kemauan untuk “meniada” atau dianggap tiada.
Pekalongan, 2 Maret 2016
Komentar
Posting Komentar