CINTA [dalam] Perbedaan



Perbedaan pendapat mestinya tak membuat pertengkaran, apalagi sampai perselisihan yang menjurus pada permusuhan. Mestinya, lewat perbedaan pendapat itu ditemukan jalan tengah sebagai titik temu menuju pada inti permasalahan yang sesungguhnya. Di situlah kemudian, perbedaan pendapat membutuhkan #cinta sebagai suspensinya.
Tetapi, mengapa dari pendapat-pendapat yang beragam itu cenderung melahirkan pertengkaran dan permusuhan? Saya curiga, jangan-jangan pertengkaran atau permusuhan yang dilahirkan dari pendapat yang beragam itu bukan disebabkan perbedaan pendapat, melainkan disebabkan oleh perbedaan pendapatan. Ada semacam kontestasi yang tidak fair di dalamnya. Padahal, cinta tak mengenal kontestasi.
Kalau begitu, peradaban yang dibangun di atas perbedaan pendapat yang berujung pada perselisihan itu tidak lebih peradaban perut. Peradaban yang jauh dari usaha untuk menemukan dan mengaplikasikan cinta. Karena yang diajarkan cinta pada manusia adalah bagaimana setiap orang dapat menempatkan diri dan meletakkan logika serta cara bernalar itu sebagai alat (bukan sebagai tujuan), sebagai bagian kecil dari usaha untuk menemukan inti dari kehidupan.
Lalu, pertanyaannya adalah cinta yang seperti apa? Cinta yang bagaimana? Tentu, cinta yang dimaksud bukan cinta sebatas pengertian rasa suka atau saling suka. Bukan itu. Malah lebih luas dan lebih dalam dari sekadar suka. Sebab, inti dari pemahaman kata cinta terletak pada timbulnya rasa kebahagiaan, baik di dalam diri secara individual, maupun di dalam kebersamaan. Diri menjadi manfaat bagi kebersamaan. Kebersamaan memperkaya kebijaksanaan diri yang papa, yang alpa.
Di sinilah, letak dasar cinta. Ia menjadi inti suatu energi, inti cahaya. Yang bilamana ia diaplikasikan ke dalam kehidupan spektrumnya akan memancar kemana-mana, ke segala arah penjuru. Lalu, mampu ditangkap sebagai keteduhan dan ketenteraman. Tetapi, bukan peninabobo yang memanjakan. Sebagaimana cinta Ibu kepada anaknya. Tak menuntut balasan sekalipun di awal masa kelahiran anak, Ibu memerjuangkan cintanya dengan taruhan nyawa. Sekalipun saat mengandung, Ibu memerjuangkannya dengan segala kesusahan. Begitupun saat membesarkan anak, Ibu harus mengalami penderitaan-penderitaan batin. Mengusap airmatanya setiap waktu. Di hadapan anak-anaknya, Ibu tak mau menampakkan kesedihannya. Hanya senyuman yang menenteramkan yang Ibu tunjukkan. Artinya, bahwa untuk menemukan cinta yang sebenarnya dan melaksanakan cinta sebagai darma, seseorang harus siap menerima kenyataan. Apapun itu bentuknya. Tetapi, tidak cukup hanya menerima, perlu juga penyikapan yang bijaksana.
Beda pendapat itu wajar. Tetapi, kalau sampai pada pertengkaran yang saling memusuhi itu yang tidak wajar. Karena apa yang dibela dari pendapat sebenarnya tidak lain hanya perasaan egosentrisme. Merasa diri harus menang. Padahal, tidak ada pemenang di dalam perbedaan pendapat. Kemenangan yang sesungguhnya adalah ketika di dalam perbedaan pendapat itu dapat menghasilkan korelasi dan koneksitas antarindividu. Bersama-sama saling menjabat tangan, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Sama-sama meninggikan derajat satu sama lain. Bukan merendahkan yang lain, meninggikan diri sendiri.

Pekalongan, 13 Juni 2016
R.G.

Komentar