Apa
yang dapat dilakukan untuk Indonesia, mungkin adalah hal yang tak pernah
terlintas dalam benak saya sebagai rakyat kecil. Mungkin juga pada benak Anda
yang merasa senasib sepenanggungan sebagai rakyat kecil. Bagi saya, mungkin
juga Anda, hidup dan berusaha sedapat mungkin mencukupi kebutuhan-kebutuhan,
sekadar mempertahankan hidup, adalah sesuatu yang lebih dari cukup. Maka, sulit
rasanya menjangkau pada persoalan-persoalan yang demikian kompleks.
Negara, menurut saya, adalah urusan yang tidak
sederhana. Sangat kompleks. Tetapi, tiba-tiba saya merasa seperti salah minum
obat. Ketika saya tonton berita-berita di televisi, juga ketika membaca
koran-koran, majalah-majalah, atau juga membaca berita-berita di media di
internet, pemahaman saya tentang negara sekonyong-konyong berubah. Apa yang
saya anggap sebelumnya tentang kompleksitas negara tiba-tiba dibatalkan begitu
saja oleh berita-berita di media. Negara, sebagaimana yang saya tangkap lewat
berita-berita di media itu, hanyalah kotak mainan yang bernama politik.
Sementara politik yang ditampilkan hanyalah urusan tentang bagaimana beberapa
gelintir orang di negeri ini saling berperang kepentingan. Ah! Modarlah saya!
Makin gagal paham!
Kisruh politik yang kerap nangkring di televisi,
koran, majalah, dan media lainnya, membuat saya makin jauh dari mengerti apa
itu politik. Setahu saya, politik itu bagian dari cara manusia membangun
tatanan kehidupan secara bersama-sama. Tetapi, yang saya saksikan malah urusan
kepentingan orang per orang atau kelompok-kelompok tertentu. Maka, yang
dihasilkan hanyalah figur penguasa, bukan sebuah kekuasaan.
Jika politik adalah penguasa dan negara hanyalah
urusan politik, maka negara tidak lain hanyalah milik penguasa. Alamak! Saya
makin gagal paham lagi! Makin nggak ngerti untuk apa negara itu dibangun,
dimitoskan sebagai lembaga kehidupan. Lalu, siapa yang diuntungkan?
Ah! Tak perlu lagi diperbincangkan. Urusan negara
biarlah menjadi urusan para elite. Kita ini orang kecil. Sekadar hidup
mempertahankan diri itu jauh lebih baik. Setidaknya, agar tak disingkirkan dari
sosial. Tak dianggap sebagai sampah masyarakat. Hidup dalam kelayakan dan
kewajaran sebagaimana orang-orang lain di kampung-kampung.
Tetapi, rupanya itu pun belum selesai. Masih banyak
permasalahan yang kemudian silih berganti. Datang begitu saja. Berubah-ubah
tanpa bisa dimengerti kapan datang, mengapa bisa tiba. Keruwetan-keruwetan di
atas papan catur politik yang dimainkan oleh beberapa gelintir warga negara
kelas elite saja, masyarakat tiba-tiba bisa sempoyongan. Seperti ada angin
badai yang tiba-tiba menyergap. Menyerang dari segala arah. Menyergap dan
memerangkap tanpa bisa kita menolaknya. Bergerak salah. Diam pun bisa sangat
mungkin jadi salah.
Lagi-lagi, masyarakat pun dibikin bumpet pikirannya.
Stress oleh berita-berita minir yang selanjutnya membuat orang-orang kampung
juga ikut adu argumentasi soal ini-itu. Walhasil, diam-diam, tertanam pula rasa
kebencian antarsesama. Sementara masalah-masalah kampung. Masalah-masalah yang
paling riil mereka hadapi kadang bisa mereka lupakan. Atau mungkin terabaikan
karena saking tidak ditemukan jalan keluarnya. Kekolotan masih menjadi bagian
dari perangai sebagian masyarakat. Oleh sebab itu, hidup di tengah-tengah
masyarakat pun menjadi kian keras. Nyaris kehilangan rasa yang lentur. Orang
bisa saling curiga. Bisa saling merasa paling benar. Bisa saling merasa paling
berkuasa. Persendian sosial kehilangan pelumasnya. Bahasa yang menjadi ungkapan
keseharian mereka menjadi serba kaku, sekalipun ada canda tawa di dalamnya. Tetapi,
karena minimnya olah rasa yang dikelola dalam sosial mengakibatkan gurauan itu
menjadi sempit dimaknai. Gurauan bukan lagi dimaknai sebagai permainan,
melainkan sudah menjadi amunisi untuk saling serang satu sama lain.
Oh, betapa kondisi ini sangat memrihatinkan. Hidup
guyub di bawah satu payung menjadi sesuatu yang langka ditemukan. Hidup guyub
di bawah tiang bendera yang satu juga terasa hambar sudah. Indonesia hanya
menjadi nama yang nyaris tanpa kehadiran roh dan raga. Hanya simbol-simbol yang
mulai pudar bentuk, rupa, warna, dan rasanya. Ibarat sepiring nasi, ia nyaris
menjadi basi.
Di sinilah kemudian, saya dan teman-teman di Omah
Sinau SOGAN berusaha menawarkan sesuatu kepada mereka. Kepada masyarakat
kampung. Apa yang kami tawarkan untuk mereka barangkali bukan sesuatu yang
penting. Bukan sesuatu yang dapat membawa perubahan besar sebagaimana tercantum
dalam ide-ide besar para ahli retorika.
Kami hanya mengajak mereka bermain. Ya, memainkan
sebuah permainan. Permainan apa? Permainan yang memainkan kehidupan mereka.
Permainan itu oleh kalangan umum disebut sebagai drama. Tetapi, menurut saya
pribadi, lebih tepat sebagai dagelan. Konsep ini kembali kami hadirkan, setelah
sekian lama masyarakat merasa asing dengan diri mereka sendiri.
Tak banyak yang kami lakukan. Kami hanya mendatangi
kelompok pemuda yang berhari-hari mulai gelisah. Mereka menginisiasi, kami
mendatangi. Mendekati mereka kemudian mengikuti kemauan mereka. Ya, kami hanya
mengantarkan mereka pada proses. Dan ternyata, mereka sepakat melakukan sebuah
eksperimen. Sebuah permainan yang mereka sebut sebagai seni pertunjukan.
Proses latihan pun dijalankan. Tentu, dengan seadanya.
Kemampuan kami sangat terbatas. Tetapi, kami berusaha memaksimalkan kemampuan
kami yang terbatas itu. Sampai pada akhirnya, tercetus sebuah gagasan untuk
mempresentasikan sebuah sajian kepada masyarakat kampung.
Mula-mula, kami sama-sama bingung apa yang bisa
digarap. Tetapi, kami kemudian berusaha sebisa mungkin membuat proses itu tetap
berjalan. Walhasil, dalam sebuah obrolan malam, kami berbincang-bincang. Sebuah
omong kosong saja. Kami membincangkan segala persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat kampung. Terutama yang menjadikan para pemuda ini bimbang dan
gelisah. Satu per satu mereka ungkapkan semua uneg-uneg mereka. Dengan jujur
dan spontan. Tanpa paksaan.
Dari uneg-uneg itu lahirlah sebuah konsep cerita utuh.
Cerita yang memadukan tiap-tiap keluhan mereka. Disajikan dalam urutan-urutan
peristiwa. Ada yang diramu sebagai hubungan sebab-akibat, ada yang hubungan
syarat, ada pula yang sekadar lewat dan sebagainya. Kesemuanya kemudian
diformulasikan ke dalam kronik yang unik. Kronik yang mengisahkan kegelisahan
anak-anak kampung. Tentu, agar tidak menimbulkan ketersinggungan, polesan
estetika dibutuhkan. Bumbu drama pun dibubuhkan sebagai penyedap rasa. Naskah
yang hanya berupa konsep cerita alias alur cerita pun jadilah. Tanpa dialog
tertera. Tetapi, setiap adegan ditulis dengan bahasa seadanya. Ala kampung.
Lanjutlah kemudian berproses lagi. Kali ini proses itu
bertutur mengenai kegelisahan mereka. Kegelisahan orang-orang kampung.
Bahasa-bahasa kejujuran menjadi indah disuarakan. Bahasa-bahasa kejujuran yang
muncul dari kegelisahan mereka menjadi indah didengar. Dinikmati dengan
saksama. Laku mereka menjadi sangat luwes, menandakan sebagai orang kampung
betulan. Tidak dibuat-buat, sangat alami. Sebab, yang mereka proses adalah
masalah mereka sendiri. Mereka membaca keadaan. Kemudian memahami dan
menghayatinya. Lalu, mereka berusaha menemukan solusi-solusi atas segala
persoalan yang mulanya mereka anggap ruwet.
Pada puncaknya, proses itu pun dipersembahkan kepada
masyarakat. Di tengah keramaian dan kemeriahan peringatan Maulid Nabi, para
pemuda kampung ini berusaha menampilkan apa yang mereka hayati selama ini. Kegelisahan
mereka yang diharapkan mampu mewakili kegellisahan orang-orang kampung.
Sungguh, sangat di luar ekspetasi. Penampilan mereka
sangat memukau. Mereka bisa. Sangat bisa! Bahkan, mula-mula saya yang ragu-ragu
menjadi teryakini bahwa mereka sangat bisa melakonkan apa yang mereka perani.
Masyarakat kampung terhibur. Selain terhibur, mereka pun menjadi mengerti.
Selain mengerti, mereka seperti mendapatkan pengetahuan baru mengenai cara
menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Bahwa tidak setiap permasalahan
selesai dengan perundingan, rapat, maupun musyawarah. Tetapi, apa yang kemudian
ditampilkan itu seperti pelepas dahaga yang sekian lama mereka alami.
Tidak hanya itu, respons positif pun ditunjukkan
seorang Kyai yang waktu itu menjadi pembicara dalam acara pengajian. Malah,
beliau mendukung penuh atas prakarsa para pemuda kampung ini. Sangat
apresiatif.
Ya, begitulah kira-kira. Bahwa mendidik masyarakat
bisa juga dilakukan dengan cara-cara yang tidak mengajari. Tetapi, lebih pada
mengajak untuk membaca diri sendiri, sambil menertawai diri sendiri. Mengajak
untuk bersama-sama membaca keadaan, sembari membuat mereka bergembira.
Ya, rakyat sudah terlalu banyak menumpuk permasalahan.
Sudah terlalu banyak yang mereka bingungkan. Sampai-sampai sulit rasanya mereka
menemukan jalan keluar. Belum lagi diruwetkan lagi dengan pemandangan di
televisi, koran, majalah, dan media-media lain yang makin bikin mereka lupa
pada keadaan. Alhasil, mereka frustrasi. Mereka berusaha mencari jalan lain
untuk keluar. Lalu, lari dari kenyataan. Tetapi, dengan cara memainkan sebuah
permainan kehidupan, mereka bisa sedikit berlega hati. Setidaknya, mereka
menjadi tahu apa sebenarnya yang mereka alami. Soal kemudian bagaimana
penyelesaiannya, tentu ada banyak cara yang kemudian bisa mereka tempuh.
Masyarakat butuh diayomi dan diayemi.
Pekalongan, 19 Desember 2016
Omah Sinau SOGAN
Komentar
Posting Komentar