Malam itu,
seusai kami bermunajat, kami kembali dalam lingkaran. Membangun ruang diskusi kecil.
Bisa dibilang sebenarnya lingkaran kecil ini hanya semacam obrolan ngalor-ngidul. Tetapi, kami yakin obrolan
kami tetap memiliki sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Kali ini, kami coba
menyingkap pemaknaan salah satu asmaul husna, Al Malik.
Di antara kami hadir pula Gus Mansur yang menjadi pemantik
diskusi. Ia begitu bersemangat memaparkan apa yang ada di benaknya. Dimulai dari
paparannya mengenai jati diri dan makna esensi hidup, Gus Mansur mengurai
pemaknaan Al Malik yang begitu dalam.
Kata Gus Mansur, “Menemukan jati diri pada prinsipnya merupakan
usaha manusia di dalam menempatkan dan melihat segala sesuatu sebagai hal-hal
yang agung. Artinya, menemukan jati diri itu memperlakukan segala sesuatu dengan
penghormatan dan penghargaan pada esensi hidup. Dengan begitu, makna hidup akan
menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan wujud fisiknya. Fisik meniada dalam
pemahaman maknawiah.”
Ya, bisa dibilang menemukan jati diri itulah tugas paling inti
dari seorang hamba Gusti Allah. Di dalamnya juga terdapat pemahaman mengenai
konsep manunggaling kawula Gusti yang mengandaikan fungsi diri di dalam
memandang relasi antara Tuhan dengan manusia sebagai hamba.
Penjelasan singkat Gus Mansur ini tampaknya berhasil memantik
ruang diskusi lebih dalam. Setidaknya, beberapa di antara kami yang duduk
melingkar mulai mengurai persoalan demi persoalan. Utamanya, persoalan
menemukan diri yang sejati sekaligus fungsi diri di dalam mengejawantahkan
konsep manunggaling kawula Gusti.
“Manunggaling kawula Gusti pada prinsipnya bukan sebuah konsep
yang menyamakan derajat manusia dengan Tuhannya. Tetapi, menempatkan Tuhan
sebagai sangkan paran. Yang mengawali sekaligus tempat kembali. Konsekuensinya,
manusia tidak bisa luput dari pengawasan Gusti Allah walau barang sedetik,”
jelas Gus Mansur.
Jika demikian, diri yang sejati pada dasarnya merupakan
pengejawantahan kehadiran Tuhan di alam semesta. Inilah yang kemudian
memperlihatkan salah satu fungsi manusia sebagai khalifatullah. Konsekuensinya,
manusia memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar terhadap kelangsungan
hidup alam semesta. Rusak atau terpeliharanya alam sangat bergantung pada cara
manusia memperlakukan alam.
“Selama ini, kita menganggap makhluk lain di luar manusia—seperti
binatang dan tumbuhan—dianggap tidak memiliki arti dan rendah derajatnya.
Padahal, mereka lebih bisa merespon setiap doa dan ikhtiar manusia. Tumbuhan
bisa sangat merespons aktivitas manusia dalam berdoa,” ujar Gus Mansur.
Dari hal ini, manusia selanjutnya dituntut agar mampu menjalani
fungsinya sebagai raja. Setidaknya, raja bagi dirinya sendiri dan bagi makhluk
lain di luar manusia. Fungsi ini, oleh Gus Mansur disebut sebagai bagian dari
pengejawantahan sifat Allah sebagai Al Malik.
Al Malik adalah suatu sikap yang mampu dan sanggup menempatkan
segala sesuatu sebagai bagian dari dirinya. Udara, air, tanaman adalah bagian
dari dirinya. Dengan demikian, Al Malik menghendaki adanya pola hubungan yang
komprehensif. Ia mampu bertindak sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin
berbeda dengan penguasa. Pemimpin mendahulukan komunikasi yang mampu
mendamaikan dan menyelamatkan ketimbang membuat perintah-perintah. Sementara
penguasa lebih mendahulukan pola penguasan yang serba intruksional.
Melalui komunikasi yang dibangun di dalam kepemimpinan ini pula, Al
Malik juga menghendaki sikap dan perilaku yang mengayomi. Mau mendengar setiap
keluh kesah, mau melihat setiap gerak perubahan, dan mampu memberikan ruang
untuk berdialog. Pengayoman, dengan demikian, dapat diartikan pula sebagai
upaya menciptakan ruang-ruang dialog yang mampu meretas keberjarakan, sehingga
sekat menjadi tiada. Sebaliknya, yang dimunculkan adalah kedekatan emosional
antara raja dan kawula.
Kedekatan emosional ini pula yang kemudian membawa pemahaman bahwa
Al Malik menghendaki pula adanya sikap terbuka atau egalitarian. Sikap saling
terbuka ini dapat dimulai dari kesanggupan diri untuk menerima apapun yang
berasal dari luar. Juga mampu menerima segala sesuatu yang dihadirkan oleh
diri. Bahwa diri bukanlah sosok sempurna adalah sebuah kepastian. Maka, sang
diri tidak pernah mampu menjadi lebih unggul dari diri yang lain. Diri selalu
pada posisinya yang setara dengan diri yang lain.
Hal ini memperlihatkan pula bahwa makna Al Malik jauh dari makna arogan.
Raja bukanlah arogansi kekuasaan. Sebaliknya, raja adalah sikap yang menjunjung
tinggi moral. Menjadi panutan sekaligus menjadi pemelihara kehidupan yang penuh
kasih sayang. Jika demikian, di dalam Al Malik tersirat pula Ar Rahman dan Ar
Rahim sebagai bagian yang tak terpisah.
“Saat ini kita memasuki kiamat akhlak yang diperlihatkan dan
sekaligus memperlihatkan arogansi manusia terhadap alam semesta. Korelasi
antara makhluk dengan manusia tidak lagi terjalin dengan baik. Alhasil, kita
tidak mampu menangkap setiap gejala alam,” papar Gus Mansur.
Arogansi manusia terhadap alam semesta ini tampak nyata melalui
cara-cara manusia di dalam mengeksplorasi kekayaan alam yang pada akhirnya
justru mengeksploitasi. Alam diperkosa sedemikian rupa agar manusia menerima
manfaat dari sumber-sumber kekayaan alam. Sikap arogan ini mau tidak mau harus
menanggung akibat dari kerusakan yang ditimbulkan.
Rusaknya alam sudah barang tentu menjadikan perilaku alam pun
menjadi terbaca sebagai anomali. Setiap gerak perubahan yang dimunculkan oleh
alam dibaca sebagai perilaku alam yang aneh dan tidak wajar. Padahal, perilaku
alam sangat bergantung pada cara manusia di dalam memperlakukan alam. Perilaku
alam hanya bagian dari respons atas tindakan manusia terhadapnya. Tetapi, hal
itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak bersahabat, sebagai bencana bagi
manusia.
Oh, alangkah pongahnya manusia! Menganggap dirinya sebagai makhluk
paling berhak atas segala sesuatu yang dihadirkan oleh alam tanpa memerhatikan
perilakunya sendiri.
“Jika pada alam saja manusia mampu bersikap arogan, maka tidak
heran jika arogansi manusia pun berlaku pada manusia lain. Menganggap diri
paling benar dari diri yang lain. Kalau sudah begini, maka jauhlah manusia dari
sifat Al Malik,” jelas Gus Mansur.
Tampak wajah Gus Mansur begitu teduh. Tatapannya diedarkan kepada
kami yang hadir dan melingkar. Lalu, ia pun melanjutkan obrolannya, “Manusia itu
raja bagi makhluk lain. Manusia merajai tumbuhan dan binatang. Maka, sudah
semestinya seorang raja mampu mengayomi hamba-hambanya. Makhluk lain mestinya
diayomi oleh manusia. Bukan sebaliknya.”
Ini pula yang telah dicontohkan oleh budaya bangsa ini. Budaya pada
masyarakat Nusantara merupakan cara manusia di dalam membaca dan menempatkan
diri sebagai bagian dari alam semesta. Maka tidak heran jika di dalam
pelaksanaannya, kebudayaan masyarakat Nusantara mampu membangun keselarasan
antara mikro kosmos dengan makro kosmos, antara manusia dengan alam semesta
yang menjadi tempat bernaung. Dengan kata lain, budaya Nusantara adalah budaya
yang lahir dari kesadaran manusia tentang nature, bukan semata-mata kesadaran
atas culture.
Sayang, cara memaknai kebudayaan yang demikian ini sudah mulai
meluntur. Digerus oleh modernitas zaman yang dipengaruhi oleh falsafah Barat
yang cenderung materialistis. “Kita sudah jauh dari akar budaya kita. Dulu,
budaya kita berakar dari nature. Sementara kini, budaya kita adalah budaya yang
dikonstruksi oleh logika rasional yang menjauhkan manusia dari nature,” tandas
Gus Mansur.
Ya, alam budaya kita saat ini sudah menjauhkan manusia dari
alamnya. Manusia disibukkan dengan urusan-urusan dirinya sendiri tanpa
memedulikan lagi bagaimana alam bekerja untuk mereka.
“Sekarang ini, kita tidak lagi memiliki kemampuan untuk menangkap
dan mengerti bagaimana angin mendoakan kita. Jika kita mengetahuinya, sudah
pasti kita akan berterima kasih pada angin. Sehingga kita pun mampu mengajak
angin untuk bekerja sama, sebagaimana Penatas Angin yang meminjam kekuatan angin
untuk menumpas Baron Skebber, juga meminjamnya sebagai namanya, sebagai rasa
terima kasihnya kepada angin,” jelasnya.
Tampaknya, memang masih banyak pekerjaan yang belum juga tuntas
untuk menggali lebih dalam makna setiap gejala. Seperti pada pemaknaan kata Al
Malik yang juga belum tuntas. Sekalipun demikian, semua berserah pada
kehendak-Nya. Dialah yang Maha Lebih Mengetahui segala apa yang diketahui dan
tidak diketahui oleh manusia.
Komentar
Posting Komentar