Temukan (Ke)raja(an)mu [bagian 01]



Malam itu, seusai kami bermunajat, kami kembali dalam lingkaran. Membangun ruang diskusi kecil. Bisa dibilang sebenarnya lingkaran kecil ini hanya semacam obrolan ngalor-ngidul. Tetapi, kami yakin obrolan kami tetap memiliki sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Kali ini, kami coba menyingkap pemaknaan salah satu asmaul husna, Al Malik.
Di antara kami hadir pula Gus Mansur yang menjadi pemantik diskusi. Ia begitu bersemangat memaparkan apa yang ada di benaknya. Dimulai dari paparannya mengenai jati diri dan makna esensi hidup, Gus Mansur mengurai pemaknaan Al Malik yang begitu dalam.
Kata Gus Mansur, “Menemukan jati diri pada prinsipnya merupakan usaha manusia di dalam menempatkan dan melihat segala sesuatu sebagai hal-hal yang agung. Artinya, menemukan jati diri itu memperlakukan segala sesuatu dengan penghormatan dan penghargaan pada esensi hidup. Dengan begitu, makna hidup akan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan wujud fisiknya. Fisik meniada dalam pemahaman maknawiah.”
Ya, bisa dibilang menemukan jati diri itulah tugas paling inti dari seorang hamba Gusti Allah. Di dalamnya juga terdapat pemahaman mengenai konsep manunggaling kawula Gusti yang mengandaikan fungsi diri di dalam memandang relasi antara Tuhan dengan manusia sebagai hamba.
Penjelasan singkat Gus Mansur ini tampaknya berhasil memantik ruang diskusi lebih dalam. Setidaknya, beberapa di antara kami yang duduk melingkar mulai mengurai persoalan demi persoalan. Utamanya, persoalan menemukan diri yang sejati sekaligus fungsi diri di dalam mengejawantahkan konsep manunggaling kawula Gusti.
“Manunggaling kawula Gusti pada prinsipnya bukan sebuah konsep yang menyamakan derajat manusia dengan Tuhannya. Tetapi, menempatkan Tuhan sebagai sangkan paran. Yang mengawali sekaligus tempat kembali. Konsekuensinya, manusia tidak bisa luput dari pengawasan Gusti Allah walau barang sedetik,” jelas Gus Mansur.
Jika demikian, diri yang sejati pada dasarnya merupakan pengejawantahan kehadiran Tuhan di alam semesta. Inilah yang kemudian memperlihatkan salah satu fungsi manusia sebagai khalifatullah. Konsekuensinya, manusia memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar terhadap kelangsungan hidup alam semesta. Rusak atau terpeliharanya alam sangat bergantung pada cara manusia memperlakukan alam.
“Selama ini, kita menganggap makhluk lain di luar manusia—seperti binatang dan tumbuhan—dianggap tidak memiliki arti dan rendah derajatnya. Padahal, mereka lebih bisa merespon setiap doa dan ikhtiar manusia. Tumbuhan bisa sangat merespons aktivitas manusia dalam berdoa,” ujar Gus Mansur.
Dari hal ini, manusia selanjutnya dituntut agar mampu menjalani fungsinya sebagai raja. Setidaknya, raja bagi dirinya sendiri dan bagi makhluk lain di luar manusia. Fungsi ini, oleh Gus Mansur disebut sebagai bagian dari pengejawantahan sifat Allah sebagai Al Malik.
Al Malik adalah suatu sikap yang mampu dan sanggup menempatkan segala sesuatu sebagai bagian dari dirinya. Udara, air, tanaman adalah bagian dari dirinya. Dengan demikian, Al Malik menghendaki adanya pola hubungan yang komprehensif. Ia mampu bertindak sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin berbeda dengan penguasa. Pemimpin mendahulukan komunikasi yang mampu mendamaikan dan menyelamatkan ketimbang membuat perintah-perintah. Sementara penguasa lebih mendahulukan pola penguasan yang serba intruksional.
Melalui komunikasi yang dibangun di dalam kepemimpinan ini pula, Al Malik juga menghendaki sikap dan perilaku yang mengayomi. Mau mendengar setiap keluh kesah, mau melihat setiap gerak perubahan, dan mampu memberikan ruang untuk berdialog. Pengayoman, dengan demikian, dapat diartikan pula sebagai upaya menciptakan ruang-ruang dialog yang mampu meretas keberjarakan, sehingga sekat menjadi tiada. Sebaliknya, yang dimunculkan adalah kedekatan emosional antara raja dan kawula.
Kedekatan emosional ini pula yang kemudian membawa pemahaman bahwa Al Malik menghendaki pula adanya sikap terbuka atau egalitarian. Sikap saling terbuka ini dapat dimulai dari kesanggupan diri untuk menerima apapun yang berasal dari luar. Juga mampu menerima segala sesuatu yang dihadirkan oleh diri. Bahwa diri bukanlah sosok sempurna adalah sebuah kepastian. Maka, sang diri tidak pernah mampu menjadi lebih unggul dari diri yang lain. Diri selalu pada posisinya yang setara dengan diri yang lain.
Hal ini memperlihatkan pula bahwa makna Al Malik jauh dari makna arogan. Raja bukanlah arogansi kekuasaan. Sebaliknya, raja adalah sikap yang menjunjung tinggi moral. Menjadi panutan sekaligus menjadi pemelihara kehidupan yang penuh kasih sayang. Jika demikian, di dalam Al Malik tersirat pula Ar Rahman dan Ar Rahim sebagai bagian yang tak terpisah.
“Saat ini kita memasuki kiamat akhlak yang diperlihatkan dan sekaligus memperlihatkan arogansi manusia terhadap alam semesta. Korelasi antara makhluk dengan manusia tidak lagi terjalin dengan baik. Alhasil, kita tidak mampu menangkap setiap gejala alam,” papar Gus Mansur.
Arogansi manusia terhadap alam semesta ini tampak nyata melalui cara-cara manusia di dalam mengeksplorasi kekayaan alam yang pada akhirnya justru mengeksploitasi. Alam diperkosa sedemikian rupa agar manusia menerima manfaat dari sumber-sumber kekayaan alam. Sikap arogan ini mau tidak mau harus menanggung akibat dari kerusakan yang ditimbulkan.
Rusaknya alam sudah barang tentu menjadikan perilaku alam pun menjadi terbaca sebagai anomali. Setiap gerak perubahan yang dimunculkan oleh alam dibaca sebagai perilaku alam yang aneh dan tidak wajar. Padahal, perilaku alam sangat bergantung pada cara manusia di dalam memperlakukan alam. Perilaku alam hanya bagian dari respons atas tindakan manusia terhadapnya. Tetapi, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak bersahabat, sebagai bencana bagi manusia.
Oh, alangkah pongahnya manusia! Menganggap dirinya sebagai makhluk paling berhak atas segala sesuatu yang dihadirkan oleh alam tanpa memerhatikan perilakunya sendiri.
“Jika pada alam saja manusia mampu bersikap arogan, maka tidak heran jika arogansi manusia pun berlaku pada manusia lain. Menganggap diri paling benar dari diri yang lain. Kalau sudah begini, maka jauhlah manusia dari sifat Al Malik,” jelas Gus Mansur.
Tampak wajah Gus Mansur begitu teduh. Tatapannya diedarkan kepada kami yang hadir dan melingkar. Lalu, ia pun melanjutkan obrolannya, “Manusia itu raja bagi makhluk lain. Manusia merajai tumbuhan dan binatang. Maka, sudah semestinya seorang raja mampu mengayomi hamba-hambanya. Makhluk lain mestinya diayomi oleh manusia. Bukan sebaliknya.”
Ini pula yang telah dicontohkan oleh budaya bangsa ini. Budaya pada masyarakat Nusantara merupakan cara manusia di dalam membaca dan menempatkan diri sebagai bagian dari alam semesta. Maka tidak heran jika di dalam pelaksanaannya, kebudayaan masyarakat Nusantara mampu membangun keselarasan antara mikro kosmos dengan makro kosmos, antara manusia dengan alam semesta yang menjadi tempat bernaung. Dengan kata lain, budaya Nusantara adalah budaya yang lahir dari kesadaran manusia tentang nature, bukan semata-mata kesadaran atas culture.
Sayang, cara memaknai kebudayaan yang demikian ini sudah mulai meluntur. Digerus oleh modernitas zaman yang dipengaruhi oleh falsafah Barat yang cenderung materialistis. “Kita sudah jauh dari akar budaya kita. Dulu, budaya kita berakar dari nature. Sementara kini, budaya kita adalah budaya yang dikonstruksi oleh logika rasional yang menjauhkan manusia dari nature,” tandas Gus Mansur.
Ya, alam budaya kita saat ini sudah menjauhkan manusia dari alamnya. Manusia disibukkan dengan urusan-urusan dirinya sendiri tanpa memedulikan lagi bagaimana alam bekerja untuk mereka.
“Sekarang ini, kita tidak lagi memiliki kemampuan untuk menangkap dan mengerti bagaimana angin mendoakan kita. Jika kita mengetahuinya, sudah pasti kita akan berterima kasih pada angin. Sehingga kita pun mampu mengajak angin untuk bekerja sama, sebagaimana Penatas Angin yang meminjam kekuatan angin untuk menumpas Baron Skebber, juga meminjamnya sebagai namanya, sebagai rasa terima kasihnya kepada angin,” jelasnya.
Tampaknya, memang masih banyak pekerjaan yang belum juga tuntas untuk menggali lebih dalam makna setiap gejala. Seperti pada pemaknaan kata Al Malik yang juga belum tuntas. Sekalipun demikian, semua berserah pada kehendak-Nya. Dialah yang Maha Lebih Mengetahui segala apa yang diketahui dan tidak diketahui oleh manusia.

Omah Sinau SOGAN | 18 Maret 2016
Rizqy

Komentar