(Sinau Membaca Diri)
Tokoh yang satu ini, barangkali bisa disebut sebagai tokoh
yang apes sepanjang sejarah epos Mahabharata
versi Jawa. Karena setiap kemunculannya, tokoh pewayangan yang satu ini selalu
ditakdirkan mati dalam sekali muncul. Umurnya sangat pendek, hanya beberapa
menit saja dalam setiap pergelaran wayang, baik wayang kulit ataupun wayang wong (wayang orang). Kendati demikian,
tokoh yang satu ini selalu muncul dalam tampilannya yang begitu penuh semangat,
lincah, gesit, trengginas, dan tangkas dalam aksi-aksinya, apalagi ketika di dalam
adegan laganya saat berhadapan dengan para ksatria.
Sayangnya, dalam adegan laga itu,
sang tokoh yang satu ini harus mati di tangannya sendiri. Bukan bunuh diri,
melainkan kerap kali kematiannya itu digambarkan sebagai kecerobohannya
sendiri. Tokoh yang satu ini terbunuh oleh kerisnya sendiri karena ia tidak
cukup hati-hati atau cermat dalam membaca keadaan lawan. Ia terlalu berambisi
untuk menjadi yang menang dalam setiap kali pertempuran. Ia tidak mau jadi yang
kalah. Dia juga over confidence alias terlalu percaya diri
dan menganggap kasektèn yang
dimilikinya sudah sangat mumpuni dan mengungguli para ksatria yang dihadapinya.
Dia juga merasa punya bala tentara yang kuat karena mereka adalah para yaksa (raksasa) yang sakti. Demikianlah
ia menganggap dirinya sebagai sosok jawara.
Tapi, sebelum lebih jauh saya bahas
mengenai tokoh ini, kira-kira siapakah dia sebenarnya? Dia punya julukan
sebagai Cakil. Julukan itu diambil dari ciri fisik raut mukanya yang memiliki
bentuk rahang bawah yang menonjol. Selain itu, julukan itu juga diambil dari
warna suaranya yang mirip orang tercekik dengan nada yang tinggi dan gagap saat
berbicara. Cakil memiliki kebiasaan mengerjap-ngerjap matanya dan memincingkang
dahinya. Namun, sebenarnya ia punya nama yang cukup banyak, yakni Ditya Kala
Gendir Penjalin, Ditya Kala Carang Aking, Kala Klantang Mimis dan Ditya Kala
Plenthong. Jadi, jika dilihat dari namanya maka Cakil digolongkan ke dalam
kelompok raksasa (buta). Hal ini
ditunjukkan melalui kata ditya yang
dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno diartikan sebagai raksasa.
Pada tokoh Cakil terdapat
keistimewaan. Terutama dalam penggambarannya pada wayang purwa (wayang kulit). Keistimewaan itu terletak pada tangannya.
Umumnya, bangsa raksasa hanya memiliki satu tangan yang bisa digerakkan.
Tetapi, pada Cakil, meskipun ia seorang raksasa, kedua tangan itu dapat
digerakkan.
Perbedaan ciri tersebut merupakan
salah satu tanda yang menunjukkan kapan tokoh Cakil digubah atau diciptakan.
Dalam tradisi Jawa, tanda itu digolongkan sebagai “sengkalan memet” atau penanda waktu yang menggunakan
perumpamaan/simbol gambar, simbol-simbol bangunan, arca, atau benda-benda
lainnya. Lantas, apa makna di balik simbol tangan pada Cakil itu jika dilihat
dari sistem sengkalan itu tadi?
Ternyata, usut punya usut, ciri
pada tangan Cakil itu dimaknai sebagai “tangan
yaksa satataning janma” yang artinya tangan raksasa layaknya tangan
manusia. Dari susunan kata tersebut akan tampak bahwa di balik kata-kata yang
tersusun terkandung watak bilangan tertentu. Tangan memiliki watak bilangan 2, yaksa berwatak bilangan angka 5, satataning memiliki sifat angka 5, dan janma memiliki karakter bilangan angka
1, sehingga jika disusun sebagaimana adanya maka watak bilangan pada susunan
kata itu adalah 2551. Tetapi, untuk mengetahui makna angka tersebut maka
pembacaan terhadap susunan angka tersebut dibalik. Jadilah susunan angka 2551
tersebut dibaca sebagai 1552.
Dan, tahukah Anda, jika angka 1552
yang dimaksud adalah angka tahun dalam sistem kalender Jawa yang jika dihitung
dalam sistem kalender Masehi akan didapat angka tahun 1630. Tahun itulah yang
merupakan tahun diciptakannya tokoh Cakil dalam katalog wayang purwa (wayang kulit).
Dalam sebuah referensi disebutkan
pula bahwa penciptaan tokoh wayang Cakil ini terjadi pada era raja kedua
kerajaan Mataram Islam, yakni pada masa pemerintahan Susuhunan Anyakrawati
(Rabimin, 2006: 29). Gelar dari raja kedua kerajaan Mataram Islam ini adalah Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati
Senapati-ing-Ngalaga Mataram atau Panembahan
Seda ing Krapyak, atau cukup Panembahan
Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak". Nama
asli dari Prabu Hanyakrawati adalah Raden Mas Jolang.
Purwadi (2007) menjelaskan pula
bahwa beliau, Susuhunan Hanyakrawati adalah pencipta karakter wayang Cakil. Selain
itu, beliau juga merupakan tokoh pembaharu dalam penciptaan wayang purwa
(wayang kulit). Menjadi pertanyaan kini, ada maksud apakah di balik penciptaan
karakter Cakil ini?
Mari kita tengok sejenak adegan
laga yang tadi terpenggal itu. Kemunculan Cakil biasanya terjadi saat para
ksatria dalam perjalanan turun gunung, turun dari semadinya. Seperti yang kerap
disajikan dalam pergelaran wayang kulit dan wayang orang, Cakil biasanya akan
muncul dalam salah satu adegan ketika Arjuna selesai dalam pertapaannya. Ketika
itu, Arjuna melintasi kawasan belantara rimba. Di situlah kemudian, biasanya
Cakil akan muncul dan menghadang ksatria tampan ini. Cakil akan menantang
Arjuna untuk berkelahi, karena menganggap jika Arjuna telah memasuki daerah
kekuasaannya tanpa izin. Oleh sebab itu, Arjuna, menurut pandangan Cakil, harus
menebus kesalahan yang dilakukan.
Dari hal ini, tampak bahwa apa yang
dilakukan Cakil sebenarnya merupakan sebuah usaha memerjuangkan hak
kewilayahannya. Cakil memertahankan kedaulatan teritorial kekuasaannya. Maka
dari itu, tindakan Cakil bisa saja menjadi sesuatu yang baik dan benar bagi wangsa-nya. Bahwa apapun yang melintas
di wilayahnya harus diketahui dan sepengetahuannya. Sikapnya yang kukuh dalam
memegang prinsip itu bisa jadi merupakan sikap yang positif. Sikap demikian,
merupakan ciri dari upaya memproteksi diri sekaligus kehati-hatian terhadap
kedatangan bangsa asing di tanah airnya.
Sikap seperti ini, dapat pula
dimaknai sebagai ke-blaka-an
(keterusterangan). Blaka dalam
terminologi budaya Jawa bukan sekadar jujur, melainkan keterbukaan. Dalam
perspektif yang demikian, blakasutha
merupakan sebuah sikap dan tindakan yang lebih mengedepankan perilaku yang
terbuka dan apa adanya. Blaka tidak
memiliki tendensi maupun penjurian pada masalah-masalah yang diketahui. Tugas
dari blaka adalah mengungkap yang
diketahui, dirasa, dan dialami. Selain itu, tidak ada. Oleh sebab itu, pada
posisi yang demikian, Arjuna mungkin saja menjadi pihak yang salah dan kalah.
Sebab, kehadiran Arjuna di daerah kekuasaan Cakil dianggap mengusik ketenangan
kaum raksasa. Kehadiran Arjuna menjadi kekhawatiran bagi Cakil dan wangsa-nya.
Tetapi, di sisi lain, tindakan
tersebut rupanya menjadi sebuah masalah yang tidak sederhana. Apalagi ketika
Arjuna berusaha untuk melakukan negosiasi. Arjuna mengajukan sebuah resolusi
bersama yang harapannya ada semacam kompromi politik antara dua pihak. Sayang,
tawaran berkompromi itu disikapi Cakil sebagai ketua gank raksasa itu dengan
perkelahian. Dalam keadaan yang demikian, maka Cakil bisa dikatakan sebagai
pihak yang tidak tahu diri. Sikap Cakil dapat dimaknai sebagai sikap yang keras
kepala, sehingga ia tidak mau menjalankan resolusi yang ditawarkan oleh Arjuna.
Sikap keras kepala yang demikian, bisa
saja diartikan sebagai sikap yang menutup diri. Sikap yang merasa paling benar,
paling menang, dan paling segalanya.
Dalam perspektif yang berbeda, apa
yang dilakukan Arjuna juga tidak selamanya bisa dibenarkan sebab kompromi yang
dilakukan hanyalah sebuah upaya memanipulasi kesalahan Arjuna. Negosiasi yang
dilakukan Arjuna merupakan negosiasi yang terlambat, karena hal itu dilakukan
ketika Arjuna sudah melanggar teritorial kekuasaan. Sebagai seorang ksatria,
Arjuna telah melanggar darmanya. Seorang ksatria, katanya, adalah kalangan yang
menjunjung tinggi etika bahkan mungkin moral. Tetapi, nyatanya, etika telah
dilanggarnya.
Kendati demikian, saya kadang
bertanya-tanya, mengapa Cakil yang harus kalah dalam adegan itu? Mengapa Cakil harus
mati karena kerisnya sendiri? Mengapa pula bukan karena Arjuna yang
membunuhnya? Apakah ini sebuah skenario besar yang sengaja dibuat sebagai
manipulasi fakta sehingga nama Arjuna seolah-olah bersih dari kesalahan?
Bagi Cakil perlawanannya terhadap Arjuna
adalah peperangan untuk membela hak. Membela kedaulatan. Dengan kata lain,
Arjuna telah menginvasi wilayah kedaulatan Cakil. Jadi, wajar kalau kemudian
kehadiran Arjuna yang tanpa permisi itu membuat marah si tuan rumah yang tidak
lain adalah Cakil. Selain itu, kesalahan kedua dari Arjuna ini adalah rupanya
dia tidak menghiraukan nasihat Kang Semar yang sudah mengingatkan untuk segera
meninggalkan tempat itu. Lantaran Semar tahu itu sudah melanggar kodrat Arjuna
sebagai seorang ksatria. Dan alangkah akan memalukan bila seorang ksatria
berwatak lebih buruk dari seorang yaksa.
Main serobot dan sok berkuasa. Tapi
apalah daya bagi Semar, dia hanya sebagai pamomong bukan penentu nasib. Makanya
dia pun memilih untuk meninggalkan bendara-nya
(tuannya) itu di tengah hutan negerinya Cakil itu.
Ya Cakil, telah gugur untuk membela
haknya. Bukan melawan Arjuna melainkan melawan kelaliman Arjuna. Bukan menolak
kehadiran Arjuna tetapi mengajari ksatria itu untuk berlaku laiknya seorang
ksatria. Bukan pula ingin mengganggu pertapaan Arjuna melainkan untuk
memberikan pengajaran tentang penghargaan terhadap kehidupan. Sebab hidup
adalah hak bersama bukan monopoli. Hidup juga bukan hanya menjadi milik
orang-orang pilihan. Sebab orang pilihan itu bukan dimunculkan melainkan
diciptakan oleh daur kehidupan. Barang siapa yang bisa menghargai hidup dan
kehidupan maka dialah yang akan menjadi manusia pilihan. Dan itulah yang
membedakan antara orang pilihan dengan penguasa.
Penguasa diciptakan oleh sistem,
sementara orang-orang pilihan tidak membutuhkan perangkat sistem baik sosial
maupun politik. Penguasa dimunculkan oleh kehendak, ego, atau bahkan
kepentingan. Sedangkan orang-orang pilihan hanya akan muncul karena dia telah
menjadi representasi kehidupan. Kemunculan penguasa bisa saja menuai konflik,
karena ada kepentingan. Sehingga perdamaian yang mereka tawarkan sangat
bersifat kompromistis, transaksional, dan penuh dengan ambisi.
Sementara kemunculan orang-orang
pilihan hanya akan membawa pesan damai sebagai sebuah prinsip bukan sebagai
sesuatu yang kompromistis, transaksional, dan bukan pula sebagai sebuah ambisi.
Karena pada prinsipnya orang pilihan tidak membutuhkan kedudukan, seperti
halnya Semar. Dia tidak membutuhkan itu. Tetapi secara nyata ia telah banyak
memberikan sumbangsih bagi bangsanya. Hal yang hampir serupa juga dilakukan
oleh Cakil, dia bisa saja berdamai dengan Arjuna asalkan Arjuna menghargai
hak-hak hidup bangsanya. Cakil tidak ingin terperangkap ke dalam dinamika
politik yang kadang kejam, tetapi ia hanya ingin meluruskan yang bengkok.
Paling tidak ia hanya ingin mengatakan bahwa sikap kekurangajaran Arjuna harus
diluruskan. Bahwa politik juga beretika. Dan etika bukan sekadar basa-basi.
Etika bukan hanya sebuah lips service,
melainkan pula sebuah hal yang paling prinsip. Etika adalah sebuah bentuk
penghargaan terhadap hak hidup orang banyak. Bukan sebuah upaya menjilat
rakyat.
Di lain pihak, kematian Cakil lewat kerisnya sendiri
merupakan perlambang bahwa sebenarnya di dalam upaya untuk menegakkan keadilan
dan memerjuangkan hak pun harus dijauhkan dari ambisi. Sebab, pada hakikatnya,
di setiap perbuatan baik selalu ada iblis yang mengintai dan mengikuti. Tinggal
bagaimana sikap setiap individu untuk dapat menjauhkan diri dari keiblisan.
Komentar
Posting Komentar