FANTASI DAN DUNIA PENDIDIKAN ERA KINI




[Pergulatan Dua Dunia yang Berseberangan] 


Tiba-tiba aku mendadak kangen pada dunia kecilku. Dunia kanak-kanakku. Dunia ketika aku belum mengenal bagaimana rasanya menjadi orang yang disibukkan dengan pekerjaan dan segudang tuntutan ini-itu. Dunia ketika aku belum mengerti kata orang-orang tua tentang sulitnya menjalani hidup. Dunia ketika aku belum mampu menangkap makna dari kata perjuangan hidup dan segala istilah lain yang aku kenal pada masa sekarang ini. Ya, istilah-istilah yang kian lama kian berjubel. Berdesak-desak di dalam tempurung kepala seolah-olah mereka membentur-benturkan dirinya sendiri, ingin segera keluar dan melarikan diri dari otakku.
Apa gerangan yang membuatku begitu kangen? Tidak lain karena kebebasanku memainkan imajinasi. Ya, sebagai kanak-kanak aku begitu bebas memainkan imajinasi, membangunnya menjadi alam fantasi, kemudian menyajikannya dalam segala rupa tingkah yang oleh orang-orang tua disebut sebagai ‘mimpi siang bolong’. Sesuatu yang mustahil terjadi. Sesuatu yang tak masuk di akal, katanya. Bagaimana tidak, aku bisa saja memainkan mobil-mobilanku terbang layaknya pesawat terbang. Bahkan, mobil-mobilanku terbang meliuk-liuk, bermanuver laiknya seekor lalat. Menclok sana, menclok sini. Aku mainkan sesuka hati. Mengikuti irama imajinasi dan alam fantasiku. Aku juga bisa memainkan kapal-kapalan dari plastik yang tiba-tiba saja bisa berputar-putar laiknya pesawat tempur. Bermanuver demikian rumit. Mungkin untuk ukuran pesawat tempur sungguhan, manuver yang aku bikin-bikin itu akan membuat pesawat rontok dan manusia yang menjadi pilotnya tak bernyawa seketika. Atau tiba-tiba, kapal-kapal mainan itu meledak oleh serangan bom dari sebuah pesawat terbang, lalu dalam waktu singkat kapal itu bisa pulih kembali dan terbang mengejar pesawat yang menyerangnya. Semua begitu mudah aku main-mainkan kala itu. Tetapi, begitu aku diminta menjelaskannya aku hanya punya jawaban singkat, “Lho, aku kan yang punya kapal. Jadi, terserah aku dong, mau aku bikin kapalku terbang atau jadi kapal selam.”
Mungkin, bagi orang yang sudah mengkhatamkan kalender demi kalender yang tergantung di dinding rumah, jawaban itu dianggap tidak nalar. Apalagi bagi yang sudah menikmati enaknya duduk di deret kursi ruang-ruang kelas dari satu sekolah ke sekolah lain, dari satu jenjang ke jenjang yang lebih tinggi, jawaban itu dianggap sebagai jawaban yang mengada-ada dan tidak masuk akal. Dan bagi yang mengenyam nikmatnya memakai toga kesarjanaan, bisa jadi jawaban itu dianggap pula sebagai jawaban yang tidak ngilmiah. Mengapa begitu? Karena oleh sebagian besar orang—terutama yang gemar melahap lembar-lembar ijazah, itu dianggap bukan jawaban. Tetapi, itu sekadar pembelaan diri yang tidak punya dasar. Lah, dari mana dasar itu? Tentu, oleh orang-orang pintar di negeri ini, dasar atau landasan itu diambil dari konsep-konsep yang kemudian secara sistematis dan terstruktur lantas ditahbiskan sebagai ilmu pengetahuan dan diejawantahkan ke dalam teori dan metode.
Tetapi, sekali ini aku ingin membela jawabanku itu setelah sekian lama aku biarkan dalam kekalahan-kekalahan yang bertubi-tubi. Pertama, dikalahkan oleh orang-orang yang katanya sudah mampu bernalar. Kedua, dikalahkan oleh mereka yang menganggap dirinya sudah dewasa. Lalu, mengapa kalah? Karena sama sekali aku tidak diberi kesempatan untuk membela. Jangankan membela, berkesempatan untuk membuktikan jawabanku pun tidak. Malah aku dilumpuhkan oleh asumsi-asumsi dan cara pandang yang sedemikian ruwet. Aku tidak diberi kebebasan untuk menciptakan fantasiku, karena aku hanya dibolehkan menjadi penganut dari perangkat-perangkat teori, sehingga aku terperangkap di dalam penjara teori yang memasukkan jawabanku sendiri ke dalam tong sampah.
Aku akan mulai dari cara pandang seorang jenius, Albert Einstein. Dalam suatu kesempatan ia berkata, “Imagination more important than knowledge”. Sepintas, pernyataan si perumus E=mc2 itu tampak seperti sebuah perbandingan antara alam khayal dengan rasio. Bahwa Einstein seolah-olah menganggap khayalan menjadi lebih penting dibandingkan dengan pengetahuan. Tetapi, mari kita tengok sejenak, mengapa ia begitu.
Ada fase sejarah yang memperlihatkan suatu gejala yang umum bahwa pengetahuan manusia pada awalnya muncul sebagai sebuah pengalaman khayali. Melalui daya khayalnya, manusia gragap-gragap. Meraba-raba dunia kemungkinan tentang kenyataan alam. Berusaha menembus sekat-sekat indera penglihatan yang serba terbatas daya tangkapnya. Penglihatan tidak memiliki daya yang lebih tajam untuk menembus langit. Karena itu, melalui imajinasinya manusia berprasangka bahwa langit tidaklah sebatas warna biru terang atau gelap gulita dengan taburan kelap-kelip cahaya bintang. Bahwa matahari bukanlah benda yang sekadar ditempel di kanvas berwarna biru terang. Demikian pula dengan rembulan yang setiap hari berubah wujud. Dari sabit sampai purnama, kemudian berangsur kembali pada bentuk semula. Tidak hanya itu, melalui daya khayalnya manusia juga curiga bahwa bumi bukan satu-satunya benda angkasa yang sendirian. Bumi memiliki banyak teman yang bertebaran di alam semesta. Dari situ, Aristoteles kemudian menggambarkan khayalannya tentang konstelasi alam semesta. Disusul pula oleh seorang ahli geografi Romawi, Claudius Ptolemaeus yang merangkai gambaran alam semesta dalam karyanya, Almagest atau yang dalam bahasa Arab disebut Kitabul Mijisti. Dilanjut lagi oleh Copernicus, Galileo Galilei, dan lain-lain. Fase ini saya sebut sebagai fase daya khayal sebagai dimensi yang berusaha menembus sekat batas ketidakmampuan pengetahuan manusia merumuskan alam semesta. Daya khayal digunakan sebagai sarana untuk mempreteli segala asumsi yang tidak mampu menembus dinding tebal kebebalan. Dengan hanya menggunakan rasio, manusia pada masa itu bisa jadi tidak akan sampai pada sebuah penjelajahan alam semesta dan selamanya alam semesta akan menjadi rahasia yang sama sekali gelap bagi manusia. Tetapi, cobalah lihat, bagaimana kekuatan imajinasi itu. Ia telah mendorong perdebatan panjang yang sampai sekarang sebenarnya belum terselesaikan. Hanya saja, perdebatan itu dipenggal oleh kesepakatan yang kemudian ditahbiskan ke dalam rumusan ilmu pengetahuan yang bernama astronomi.
Fase berikutnya adalah fase pembuktian. Lewat daya khayal yang sedemikian rupa itu, kemudian orang-orang berlomba-lomba mengadakan penelitian yang tidak sedikit modalnya. Penjelajahan alam semesta kemudian menjadi proyek besar sampai-sampai pada fase ini terjadi ‘Perang Bintang’ antarnegara adikuasa, yaitu Uni Soviet versus Amerika. Dimulai dari penjelajahan manusia ke satelit bumi yang bernama bulan. Kemudian, diikuti pula dengan munculnya berbagai organisasi penjelajah alam semesta di hampir tiap negara di bumi ini. Di Amerika, ada NASA. Di Indonesia, ada LAPAN. Di Rusia ada Roscosmos. Di Jepang, ada JAXA (mula-mula bernama NASDA). Bahkan, di Uganda, sekelompok pehobi jelajah antariksa membikin proyek pesawat yang diharapkan mampu menembus lapisan luar atmosfer bumi. Dipimpin oleh seorang pemuda bernama Chris Nsamba, di tahun 2012 lalu itu mereka mengerjakan proyek itu di halaman sebuah kompleks rumah yang berukuran mungil. Sungguh, pemandangan yang sangat kontras antara bangunan rumah dengan angan-angan mereka ini. Tetapi, apa boleh buat, itulah mimpi.
Jelaslah sudah, bahwa realitas semacam itu memperlihatkan bahwa apa yang ingin disampaikan Einstein bukan lagi soal bagaimana memandang imajinasi dan perbandingannya rasio. Tetapi, Einstein ingin berseloroh bahwa imajinasi menjadi salah satu atau bahkan sumber kekuatan pengetahuan manusia itu sendiri. Seperti halnya ketika ia menemukan rumus E=mc2. Bisa jadi, waktu itu ia sedang menggunakan daya khayalnya tentang energi yang kemudian muncul pula rumus hitung energi. Ya, energi. Sesuatu yang tak tampak kasatmata tetapi dapat dirasakan dampaknya. Melalui hal itu, Einstein setidaknya telah membuktikan bahwa daya imajinasi memiliki kekuatan untuk melampaui zaman. Daya imajinasi memiliki kekuatan untuk menembus dimensi ruang-waktu yang oleh akal manusia bisa jadi sulit dinalar. Ia menjadi tidak terpenjara oleh cara pikir yang mainstream. Tidak lagi terkurung di dalam soal-soal benar-salah. Tetapi, ia akan ditegaskan melalui bukti-bukti. Tinggal pertanyaannya kini, modal apa yang mesti dipunyai untuk menunjukkan bukti-bukti itu?
Adalah mentalitas. Tekad dan keberanian untuk tidak menjadi sama dengan yang lain itulah modal awal. Semangat untuk menjadi berbeda ini tentu bukan dalam rangka menunjukkan kedudukan yang lebih tinggi derajatnya dengan yang lain, melainkan untuk menemukan jalannya sendiri. Menemukan kesejatian diri. Menemukan jati dirinya. Menyelami kesemestaan di dalam diri. Kesemestaan yang menyatu di dalam diri. Begitu pula sebaliknya, menyelami diri sebagai bagian dari semesta. Semesta adalah tempat berenang yang mengasyikkan untuk menemukan diri sejati. Tetapi, bagaimana kita akan mampu menyelami semesta itu jika tidak ada bekal mentalitas yang kuat? Bagaimana universitas akan menjadi penempa diri jika sejak awal kita dididik secara salah? Bahwa pendidikan hanya menjadi lembaga untuk mencetak kaum yang taat kepada teori, tetapi tidak mampu mengakrabi semesta. Segala teori diajarkan tetapi masih dalam tahap gragap-gragap. Alhasil, pendidikan terlembagakan sebagai lembaga penghafal teori. Kalaupun ada penelitian, toh itu berangkat dari teori yang sudah ada dan dimapankan. Bukan berangkat dari fakta-fakta yang bertebar di semesta sehingga penelitian tidak lebih sebagai upaya mengukuhkan kebenaran teori yang pada mulanya kebenaran dari hasil kesepakatan.
Di sini, mental kita sebagai individu benar-benar diuji. Keberanian kita untuk mengungkapkan pikiran yang diinspirasi dari daya khayal disertai dengan upaya merasiokan khayalan itu terus ditempa. Tetapi, entah sadar atau tidak, keberanian itu kerap dilunturkan sampai pada akhirnya sikap kita menjadi terlalu lentur dan menjadi sangat lunak. Kita bisa meyakini E=mc2 nya Einstein sebagai kebenaran, meski generasi masa kini tidak pernah mendapatkan jawaban langsung yang mampu meyakinkan kepada kita dari Einstein. Begitu pula sikap menolak kita saat ini terhadap konsep tata surya yang diajukan Aristoteles dan juga Ptolemaeus. Kedua konsep itu kemudian dipatahkan oleh Copernicus dan Galileo. Kita hanya menerima hasil akhir dari perdebatan itu tanpa mau mengoreksinya. Seolah-olah perdebatan itu selesai. Padahal, yang terjadi tidak lain adalah jeda. Keterdiaman yang melanda di tengah-tengah perdebatan itu baru memasuki fase jeda yang panjang, sebab barangkali akan ditemukan suatu bentuk lain dari konsep-konsep yang sudah ada. Bisa jadi menolak konsep lama, menggantikan konsep lama, atau sekadar menunjukkan mana yang mendekati kebenaran.
Tetapi, begitulah kenyataan. Bahwa dunia pendidikan kita di masa kini tidak lebih sekadar sebuah lembaga yang melatih tiap individu untuk tunduk pada keabsahan teori. Lebih parah lagi, membiasakan pada tiap individu untuk tunduk pada nasib, bukan menciptakan peluang-peluang dan bergelut dengan dunia kemungkinan yang nantinya akan melatih tiap individu ini menjadi peka terhadap perubahan, sehingga ia tidak lagi takut berhadapan dengan nasib. Sebaliknya, ia amat sangat bisa menundukkan nasib. Ia tidak pasrah pada kenyataan tetapi ia mampu mengelola kenyataan sebagai bahan dasar untuk diolah menjadi realitas baru, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan sekelilingnya. Sebab, pada hakikatnya realitas adalah inspirasi bagi setiap individu untuk menkreasikan sesuatu yang lain. Bukan sekadar untuk dilalui dengan langkah yang pasrah tanpa mengerti apa yang mesti diperbuat. Realitas masih membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkreasi. Ia hanya ladang yang mestinya diolah, bukan sekadar diduduki dengan tangan terpangku di atas kaki yang dilipat.
Amat sangat disayangkan jika pendidikan hanya menjadi pabrik yang memproduksi mesin-mesin kerja. Meluluskan para lulusan yang hanya bisa menjadi para pencari kerja tanpa bisa mengolah lahan yang bernama realitas. Meluluskan para sarjana yang hanya bisa manut dengan sistem tanpa mengolah apalagi menawarkan sistem baru kepada masyarakat. Ini yang semestinya dikelola oleh para pemangku kepentingan pendidikan. Bahwa pendidikan bukan sekadar sebagai alat untuk mencetak laboratorium ketakutan karena ketundukan yang berlebihan terhadap kebenaran-kebenaran teori yang sebenarnya masih perlu diperdebatkan. Pendidikan mestinya mendorong bagaimana setiap individu yang terlibat di dalamnya agar tidak sekadar menguasai teori melainkan pula menundukkan teori, sehingga dunia pendidikan terus bisa mengembangkan alam pikir dan menciptakan paradigma-paradigma baru.
Jika demikian, maka tidak ada yang keliru dengan pengalaman khayali, imajinasi, atau fantasi. Sebab, diakui atau tidak, kemajuan teknologi telah memungkinkan bagi upaya-upaya mewujudkan alam fantasi itu hadir ke dalam dunia nyata.

Pekalongan, 13 September 2015

Komentar