(N)DAFTAR SEKOLAH



Malam telah mencapai puncak. Di balik rerimbun pohon bambu yang bergerombol di halaman belakang rumah rembulan tampak lebih kecil dari biasanya. Seperti terus mengawasi tiap gerak-gerik. Di teras rumah, sebuah bola lampu memancarkan cahaya. Tak cukup terang, hingga cahaya rembulan tampak lebih terang di pelataran. Kini, secangkir kopi mendarat tepat di atas lincak. Secangkir kopi yang masih hangat betul. Uapnya menari mengisi ruang udara yang senyap. Satu seruputan sudah, mampir di tenggorokan Pak Marno. Lelaki setengah baya dengan rambutnya yang kini mulai ditumbuhi uban.
Ya, Pak Marno adalah seorang Bapak yang baik. Punya cita-cita yang tinggi dan mulia. Sangat ingin menyekolahkan anak-anaknya sampai pendidikan tinggi. Ya, jadi sarjana. Meskipun ia sendiri tidak sampai menamatkan SD.
Ada mulanya, keinginan itu didorong oleh pengalaman hidup yang berpuluh-puluh tahun cukup hanya hidup sebagai buruh tani di desa. Itu sudah tekadnya sejak duduk di bangku kelas tiga SD. Ia kerap mencuri waktu, membolos sekolah hanya untuk menggembalakan kambing-kambing milik ayahnya. Sampai-sampai, satu bogem mentah ayahnya mendarat di pipinya. Tetapi, itu tak membuat Pak Marno kecil menyerah. Sampai benar-benar ia menjadi buruh tani. Ia bangga jadi petani, meskipun hanya sebagai buruh waktu itu.
“Zaman sudah berubah. Dulu, buruh tani itu bisa menghasilkan. Tapi sekarang...,” keluh Pak Marno malam itu.
Istrinya, Sundari, tak menanggapi.
“Makin hari, makin payah,” lanjut Pak Marno.
Lagi-lagi, istrinya tak menanggapi.
“Bu, anak-anak?” kali ini Pak Marno memberi isyarat.
Istrinya mengangguk pelan. Tanda bahwa anak-anak mereka telah lelap. “Bapak ini, mbok ya nggak usah mikir yang aneh-aneh. Akhirnya, Bapak sendiri yang susah. Sampai-sampai terus menghindar dari pendengaran mereka,” kata Sundari.
“Bu, kita boleh susah. Boleh payah. Tetapi, kepayahan kita tak boleh mereka dengar, Bu. Belum saatnya,” kilah Pak Marno.
Sundari kali ini hanya bisa menghela napas.

Dan untuk membuktikan cita-citanya itu, ia begitu semangat untuk mendaftarkan anaknya yang baru berusia 6 tahun di sebuah SD di daerahnya. Pak Marno begitu sumringah menemui kepala SD tersebut. Pikirnya, sebagai orang ndesa, tidaklah laik dan santun jika saat hendak mendaftarkan anaknya ia tak menemui kepala sekolah.
Dengan degup jantung yang dag-dig-dug, Pak Marno berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengetuk pintu ruang kantor kepala sekolah. “Kula nuwun, Bu...,” sapa Pak Marno.
“Oh, mangga, mangga.... silakan Pak,” sambut sang kepala sekolah itu ramah.
Disilakan pula Pak Marno duduk di kursi tamu. “Ada yang bisa saya bantu, Pak” kata kepala sekolah itu dengan senyuman yang ramah.
Tampak telapak tangan kanan Pak Marno mengusap-usap punggung tangan kirinya. Bola mata Pak Marno tak cukup menunjukkan keberanian untuk menatap wajah kepala sekolah. Itu dilakukan tidak sekadar karena ia tak berani atau gugup, melainkan pula karena Pak Marno menaruh rasa hormat pada sosok guru. Baginya, guru adalah sosok yang harus dihormati. Itu yang dia dapatkan waktu kecil dulu. Maklum kehidupan orang desa terpencil masih begitu menghargai guru. Guru di tengah-tengah mereka dianggap sebagai sosok teladan.
“E... anu, Bu. Maksud kedatangan saya ini, ingin mendaftarkan anak saya ke sekolah ini, Bu. Kira-kira apakah masih diterima, Bu?” kata Pak Marno.
Kepala sekolah pun tersenyum.
"Maaf Bu kepala sekolah, saya mau daftarkan anak saya. Bolehkah?" tanya seorang Bapak saat mengantar anaknya ke sebuah SD di desanya.
"Oh dengan senang hati Pak. Kebetulan kami sedang membuka penerimaan calon siswa baru." kata kepala Sekolah.
"Maaf Bu, saya mau daftar anak saya jadi siswa di sini. Bukan calon siswa."
"Nanti kan ada seleksinya dulu Pak. Kira-kira putra Bapak memenuhi syarat apa tidak. Jadi, sistem penerimaannya berdasarkan hasil seleksi." kata Kepsek menjelaskan.
"Wah, Ibu kok meragukan anak saya? Anak saya itu sudah lulus TK loh Bu. Jadi pasti memenuhi syarat." tandas si Bapak.
"Ya, saya tidak bisa berbuat banyak Pak soal itu. Soalnya itu sudah mekanisme di SD kami. Setiap calon siswa baru harus diseleksi dan hasil seleksi harus didasarkan pemenuhan syarat dan ketentuan yang berlaku. Begitu Pak." jelas Kepala SD 'X'.
"Oh begitu. Saya paham sekarang." kata si Bapak.
"Nah, syukurlah kalau Bapak paham."
"Tapi...."
"Tapi apa Pak?"
"Saya mau nanya boleh?"
"Silakan." kata kepala SD itu ramah.
"Sebenarnya yang harus memenuhi syarat itu anaknya atau orangtuanya ya Bu?"
Kali ini si kepala sekolah itu terdiam.

R.G

Komentar