TENTANG MUSIM



[sebuah catatan kecil]
 
Belakangan, cuaca tampaknya sulit untuk dimengerti. Mestinya musim kemarau, ternyata masih bertemu dengan hujan yang deras. Begitu pula sebaliknya, mestinya musim penghujan, ternyata masih juga ada cuaca panas yang teramat. Kata berita di televisi, koran, maupun di radio juga internet, keadaan semacam ini disebut sebagai anomali cuaca. Ah, rasanya kok istilah itu sangat berlebihan. Sebab, menurutku, alam pastinya bekerja sesuai dengan kodratnya, sesuai dengan jalurnya. Tidak seperti manusia yang cenderung sulit untuk menyesuaikan diri dengan kodratnya.
Manusia cenderung memilih jalannya sendiri, sekalipun sebenarnya sudah disediakan jalan yang lebih aman dan nyaman. Mungkin karena manusia adalah pelancong di dunia ini, maka sangat menyukai hal-hal yang dianggap baru. Manusia selalu ingin menghadirkan kesan-kesan luar biasa pada setiap pengalaman hidupnya. Tersebab itu, mereka lebih menyukai tantangan.
Tetapi, bagaimana cuaca menjadi anomali, menjadi sesuatu yang asing, sementara alam semesta dengan segala macam perangkat dan sistem kerjanya hanya menjalani kodratnya? Apa mungkin alam itu juga seperti manusia yang suka tantangan? Apa mungkin juga alam itu menyukai percobaan atau istilah ilmiahnya eksperimen? Rasa-rasanya ini sulit dimengerti. Dan kalaupun dipaksa-paksa untuk menjawab pertanyaan itu akupun tak akan mampu. Yang paling bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu hanya alam itu sendiri. Tetapi, bagaimana caraku mendapatkan jawaban? Sementara bahasa alam pun tak kunjung aku pahami. Aku hanya bisa memahami salah satu jenis bahasa yang ada dan hidup di dalam sebuah bahasa manusia. Sedangkan bahasa yang sebuah itupun hanya sebagian kecil dari bahasa yang hidup di antara bahasa-bahasa manusia lainnya. Begitu terbatasnya dan amat sangat terbatasnya bahasa yang aku kuasai. Maka, tidak mungkin bagiku memahami bahasa alam yang jauh lebih luas dan sangat luas itu.
Lalu, mengapa begitu mudah manusia menganggap bahwa keadaan alam yang hanya karena tidak dimengerti itu dengan sebutan anomali cuaca? Mestinya, istilah yang digunakan bukan anomali, melainkan ketidakmampuan manusia menjangkau kehendak alam. Atau setidaknya, cuaca yang tidak bisa dipahami manusia. Jika ingin lebih sederhana, mungkin bisa digunakan istilah ketidakmestian cuaca.
Namun, ada pula istilah lain yang kadang membuatku merasa ada semacam kriminalisasi alam. Bahwa seolah-olah alam dengan munculnya ketidakmestian cuaca itu diimajinasikan sebagai sesuatu yang jahat. Istilah itu ialah cuaca ekstrem!
Alamak! Istilah apa lagi ini?! Apakah alam sudah sedemikian kejamnya pada manusia, sehingga diekstrem-ekstremkan? Bukankah alam hanya menjalani tugas dan fungsinya sesuai dengan koridornya? Bahkan, jika dicari perbandingannya antara kebaikan alam dengan “kejahatan” alam, lebih banyak mana? Tentu lebih banyak kebaikannya. Tetapi, mengapa ketika bertemu dengan cuaca yang tidak dapat diperkirakan itu manusia menganggapnya sebagai sesuatu yang ekstrem? Sesuatu yang dalam imajinasiku seolah-olah menggambarkan kejahatan alam pada manusia?
Oh! Tunggu dulu... tunggu dulu. Semua mesti diendapkan. Mesti dicari mana yang paling mendekati kenyataan. Sekalipun, bahasa kenyataan juga tidak lantas bisa dianggap sebagai sesuatu yang nyata senyata-nyatanya. Artinya, kenyataan hanya bisa dirangkum melalui beberapa sumber dan perspektifnya. Maka, fakta hanya sebagian kecil. Irisan tipis dari sebuah kenyataan. Fakta hanya mengungkap sebagian dari kenyataan. Ia hanya membahasakan hal yang tampak oleh perspektif, bukan keseluruhan. Maka, fakta sendiri harus dihimpun agar menemukan kenyataan.
Ah! Kebanyakan teori! Sudah, sudah. Tulisan ini mestinya lebih ringkas dan mudah dibaca, agar siapapun yang membaca tulisan ini bisa mengerti dan memahami. Kalau perlu, orang yang memiliki daya analisis pas-pasan pun bisa mengerti. Bukan malah mendalil-dalilkan konsep teori.
Baiklah! Mungkin ini bagian dari yang tidak penting dari tulisan ini. Tetapi, sungguh, ini bukan dalam maksud menunjukkan kemewahan dalam menulis. Sebaliknya, hanya bagian dari kepongahan diri. Oh! Betapa tololnya!
Tetapi, aku tidak akan menghilangkan bagian itu. Bukan pula karena aku tidak mau, melainkan sebagai pelajaran bersama bahwa di dalam menulis pun kadang selalu muncul rasa ingin dan ingin untuk tampak seperti “pintar”. Sederhanyanya, jika aku membaca bertumpuk-tumpuk buku, bisa jadi ketika aku menulis akan mengungkapkan apa yang aku pahami dari buku-buku itu atau mengintisarikan isi buku-buku itu ke dalam tulisan. Itu sah-sah saja memang, tetapi aku kadang merasa terganggu sendiri. Sebab, dengan begitu makin tampaklah kebodohanku yang sesungguhnya.
Lalu, apakah menjadi penting untuk tampak “pintar” itu? Bisa iya, bisa tidak. Semua sangat bergantung dengan niat setiap pribadi.
Baiklah, aku lanjutkan saja tulisan ini. Tulisan yang sederhana ini.
Singkatnya, alam—menurutku—tak mungkin berbuat jahat. Kejahatan hanya berlaku pada manusia. Banyak sudah fakta yang menunjukkan kejahatan manusia terhadap alam tempat mereka diberi kesempatan hidup oleh Gusti Allah. Maka, istilah cuaca ekstrem mestinya menjadi istilah yang aneh dan nganeh-anehi.
Jadi, kalaupun ada cuaca yang sulit dimengerti ini mestinya yang menjadi pertanyaan adalah kejahatan apa yang sudah dilakukan manusia terhadap alam sehingga jadi begini runyamnya tatanan semesta. Bukan lagi mengapa alam sedemikian kejam pada manusia.
Nah, mulai dari pertanyaan itu aku kemudian mencoba memahami hubungan antara alam dan manusia. Dan benar, ternyata manusia hanya bagian kecil dari kesemestaan. Bukan sebaliknya. Boleh jadi, apa yang dilakukan oleh alam semesta tiada lain adalah buah dari perilaku manusia. Sikap dan tindakan manusia membuat alam tak berkenan. Lantas, mudahlah bagi alam untuk memperlakukan dirinya sebagaimana sikap yang dilakukan manusia terhadapnya. Semacam sistem hukum sebab-akibat. Atau yang lebih konkretnya lagi, alam semesta adalah cermin bagi perilaku manusia yang hidup di salah satu planet kecil di dalam tata semesta. Dengan begitu, cuaca yang membingungkan adalah sebagai akibat dari perilaku manusia yang juga sama membingungkannya.
Ah, sebentar! Pernyataan barusan mengingatkanku pada sepenggal kisah. Pertemuanku dengan seorang pemilik warung kecil di kampungku.
Mula-mula, aku yang sedang membeli rokok di warungnya iseng mengajukan pertanyaan. “Wah, hawanya panas. Padahal baru saja hujan,” kataku.
Sambil mengambilkan rokok yang aku beli itu, perempuan pemilik warung yang usianya jelang setengah abad itu pun menjawab, “Lho, sekarang itu memang musimnya susah ditebak, Kang. Musimnya sudah masuk kemarau, eh ada hujan. Giliran penghujan, masih juga ada panas yang terik. Mbingungi!”
“Iya, ya. Kenapa kok bisa begitu ya, Yu?” tanyaku.
“Itu semua juga ulah manusianya, Kang,” ujarnya sambil menyodorkan rokok yang kubeli. Lalu, aku segera mengulurkan tangan. Uang limapuluh ribuan kusodorkan. Saat itu pula, pembicaraan kami tak putus. “Ya, maklumlah, Kang. Manusianya juga sama mbingungi. Sulit dipercaya. Maka cuacanya pun ikut sulit dipercaya. Manusianya pada nggak jujur, cuacanya juga ikutan nggak jujur. Makanya, panas ada hujan. Hujan ada panas. Sama seperti manusia, mencla-mencle,” tukasnya.
Makjleb! Rasanya benar juga. Ucapan perempuan yang tak pernah kuliah dan cuma tamatan SD ini sangat beralasan. Barangkali itu benar. Ya, semua yang ada di alam semesta adalah cermin kehidupan manusia. Sayang, pernyataan itu yang mengungkapkan bukan seorang profesor. Coba kalau profesor, sudah pasti akan diyakini kebenarannya. Tinggal dibikin proyek penelitiannya dan dibikin laporannya. Kemudian disebarluaskan hasil temuannya ke jurnal, koran, majalah, televisi, internet atau pula lewat mimbar-mimbar akademis. Sudah pasti ini akan menjadi berita yang ramai dibicarakan di media-media massa, seminar, atau di forum-forum ilmiah. Dengan begitu, pernyataan itu akan mendapatkan pengakuan dan pengukuhan. Tetapi, perempuan ini hanya seorang pedagang kecil dengan warung yang juga kecil. Juga dengan keterbatasan pendidikan (sekolah).
Sekalipun begitu, aku merasa harus berterima kasih pada perempuan yang satu ini. Kesederhanaannya dalam menalar adalah bagian dari kebijaksanaan yang tidak semua orang bisa mengungkapnya. Bagiku, pernyataan perempuan itu jauh lebih berharga dibandingkan dengan argumentasi para akademisi. Bisa jadi, pernyataan perempuan itu adalah refleksi yang dilandasi kejujuran dan ketulusannya di dalam menghayati kehidupan. Dan itulah cinta!

Pekalongan, 27 April 2016

Komentar