CINTA SEORANG BAKUL KACANG

[sekelumit peristiwa kecil yang layak direnungkan]

 Tadi, waktu mengantarkan istri ke ATM, kami menjumpai seorang Bapak. Usianya kutaksir sekitar 60-an lebih. Beliau duduk di emperan toko dengan barang dagangan yang diletakkan di atas dua buah keranjang pikulan yang terbuat dari anyaman bambu. Di atas pikulan itu sebuah teplok atau lampu minyak nangkring sekadar memberi penerangan untuk barang dagangannya. Jelas, cahaya teplok itu kalah dengan gemerlapnya lampu toko modern yang bermerk itu.

Tersebab itu, dalam teori marketing, cara menjual si Bapak ini bisa digolongkan sebagai cara menjual yang kurang menarik dan sama sekali tidak menguntungkan. Tidak menarik, karena kemasannya tidak menggugah selera calon pembeli. Tidak menguntungkan, karena tenaga yang semestinya menjadi modal usaha dibuang percuma. Beliau harus berjalan jauh dari desanya sampai ke kota dengan memikul dua pikulan di atas pundaknya. Sementara, hasil yang ia dapat barangkali tak cukup memenuhi kebutuhan.

Tetapi, siapa sangka kalau istriku justru tertarik untuk membeli apa yang dijual Bapak tua ini. Tiga bungkus kacang rebus dibelinya. Dan ada yang jauh lebih menarik dari pribadi Bapak tua ini. Ketika istriku hendak membayarkan sejumlah uang, Bapak ini bertanya, "Pinten yatrane? (Berapa uangnya)?"

"Pitungewu, Pak (tujuh ribu, Pak)," jawab istriku dalam bahasa Jawa.

"Oh, dadi jujule sewu nggih (Oh, jadi kembaliannya seribu ya), nduk?" sahut Bapak tua ini.

"Nggih."

Lalu, diambil uang dari balik celemek plastik yang digunakan sebagai alas barang dagangannya itu. Sambil menyodorkan uang, Bapak tua ini masih bertanya, "Ngapunten, niki sewu napa dudu (Maaf, ini uang seribuan bukan)?"

"Sanes, niki kalihewu (Bukan, ini duaribuan), Pak," jawab istriku.

"Oh, maklum wis tuwa dadi ora ngerti duwit. Mbiyen Bapak ora sekolah, dadi ora ngerti duwit (Oh, maklum sudah tua, jadi nggak ngerti duit. Dulu Bapak nggak sekolah, jadi nggak ngerti duit)," celatuk Bapak tua itu sembari terkekeh. "Ya, usaha ngaten niki mung ngge sambung urip, nyukupi kebutuhan. Ngapurane ya, nduk dadi ngrepoti. Bakul kok ora ngerti duit. Dadi nyusahi sing tuku (Ya, usaha begini ini cuma buat nyambung kehidupan, mencukupi kebutuhan. Maaf ya nduk, jadi ngrepoti. Bakul kok nggak ngerti duit. Jadinya bikin repot pembelinya). He he he," lanjutnya.

Bapak tua ini kembali mengambil beberapa lembar uang. Lalu, ditunjukkan pada istriku. "Ngapurane, nduk. Iki sing duwit sewunan ngendi? Pilihen dhewe (Maaf, nduk. Ini yang duit seribuan mana ya? Pilih saja sendiri)," ucapnya.

Istriku pun menunjuk pada selembar uang bernominal seribu. "Niki, Pak (Ini, Pak)," kata istriku.

Pak tua ini pun kemudian memberikan selembar yang ditunjuk istriku tadi. "Oh, iki. Ya wis... niki jujule, nduk. Maturnuwun, ya nduk... ngapurane sing akeh, Bapak ngrepoti sampeyan (Oh ini. Ya sudah... ini kembaliannya, nduk. Terima kasih, ya nduk... maaf beribu maaf, Bapak jadi bikin repot kamu)."

Dari peristiwa kecil itu, aku merasa makjleb! Bapak tua ini, sekalipun tidak mampu mengenal uang, masih mau bekerja. Ia tak peduli dengan isu soal kapitalisme atau neoliberalisme sekalipun, karena memang ia tak mengerti soal itu. Yang ia tahu, bagaimana caranya bertahan hidup dan membuat hidup lebih bermakna. Mempersembahkan hidupnya untuk cintanya. Bahkan, ia tidak sekadar berdagang, melainkan pula mengajarkan perilaku jujur pada diri sendiri melalui caranya berdagang. Selain itu, ia ajarkan pula pada kami bagaimana menjadi orang yang sanggup menerima kenyataan dengan mengakui kekurangannya. Tetapi, ia tidak menjadikan kekurangannya itu sebagai kelemahan. Sebaliknya, kekurangannya itu menjadi semacam pemercik cahaya yang jauh lebih terang daripada lampu pertokoan itu. Ya, beliau telah menjadi cahaya itu sendiri. Terangnya lampu toko modern berlabel franchise itu tak mampu mengalahkan benderangnya cahaya batin Bapak ini sekalipun ia hanya bermodal lampu teplok. Cahaya batin Bapak tua ini adalah cahaya cintanya pada kehidupan.

Sinau ‪#‎cinta‬ dari seorang Pak tua penjual kacang rebus di bulan penuh cinta, berlimpah berkah.

Komentar