KOJAHAN BATIK, KOJAHAN CINTA



Catatan kecil dalam helat Kojahan Batik, Jumat, 29 Juli 2016 di Museum Batik Pekalongan

oleh: Omah Sinau SOGAN

Pada helat peringatan hari jadi ke 10 tahun Museum Batik yang digelar pada hari Jumat, 29 Juli 2016, Omah Sinau SOGAN didaulat untuk menggelar agenda diskusi budaya yang bertema tentang batik. Dalam helat itu, dua orang narasumber dihadirkan. Pertama, Arief Dirhamzah, seorang jurnalis sekaligus pemerhati sejarah kota Pekalongan. Kedua, Dudung Alisyahbana, seorang seniman batik yang telah banyak menciptakan karya-karya batik yang monumental.
Dirham, sapaan akrab Arief Dirhamzah, dalam kesempatan itu memaparkan seluk-beluk sejarah batik. Menurutnya, sejarah batik pada dasarnya merupakan sejarah yang sangat panjang. Ada kemungkinan, batik telah berkembang sejak sebelum era kerajaan Majapahit. Bahkan, bisa jadi asal mula batik dimulai dari era wangsa Syailendra yang memimpin kerajaan Mataram Hindu. Kemudian, mengalami perkembangannya di era Kerajaan Sriwijaya.
Menurut Dirham, wilayah Pekalongan di masa lampau merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya. Hal ini dibuktikan dengan penemuan prasasti Sojomerto yang ada di desa Reban, Kabupaten Batang. Sementara dugaan bahwa batik telah dikembangkan pada masa itu juga dibuktikan melalui beberapa arca yang ditemukan di wilayah Pekalongan purba. Ada dugaan bahwa salah satu yang mendukung dugaan tersebut adalah penggunaan kain gringsingan, yaitu sejenis kain yang diolah dengan tangan. Kain ini diyakini sebagai kain yang dikenakan oleh Dewa Indra. Motif pada kain ini sangat beragam. Hanya saja dalam hal pewarnaan, kain gringsing ini hanya menggunakan komposisi tiga warna, yaitu merah, kuning, dan hitam.
Bisa jadi, menurut Dirham, kain gringsingan ini yang menjadi inspirasi awal pembuatan batik. Tetapi, hal itu masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Sebab, selama ini, berbagai kemungkinan tersebut baru sebatas dugaan-dugaan sementara. Minimnya bukti-bukti sejarah dan minimnya penelitian membuat dugaan-dugaan tersebut tidak terlalu kuat. Dia menuturkan, selama ini penelitian mengenai batik baru sebatas pada keragaman corak, motif, komposisi, maupun teknik pembuatannya. Itupun lebih banyak dilakukan oleh para pakar dari mancanegara. Sementara, buku-buku tentang batik yang ditulis oleh bangsa sendiri masih sangat terbatas jumlahnya.
Hingga saat ini, penulisan mengenai sejarah batik masih sebatas pada upaya penelusuran sejarah batik yang dimulai pada era Mataram Islam. Pada perkembangan batik pesisir Pekalongan khususnya, dimulai setelah perpecahan Mataram yang juga ditunggangi oleh kepentingan VOC. Lewat peristiwa itu, eksodus besar-besaran mulai berlangsung, terutama sekali pada era Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Eksodus ini menyebabkan keluarga-keluarga (ningrat) dari kalangan keluarga raja tinggal dan menetap di luar keraton. Sebagian menyebar ke wilayah jawa bagian timur dan sebagian jawa bagian barat, salah satunya adalah Pekalongan.
Di lain hal, berdasarkan beberapa referensi dari mancanegara itu pula, Dirhamzah mengungkapkan bahwa era perkembangan batik baru mencapai kejayaan pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Batik, pada masa itu mengalami perubahan besar. Dari yang semula menjadi tradisi yang secara simbolik dimaknai sebagai budaya, batik berubah wajahnya menjadi industri.
Adalah mereka, terutama orang-orang Eropa dan para pendatang dari negeri Tirai Bambu dan negeri Padang Pasir yang telah ikut merayakan industrialisasi perbatikan. Salah satu nama kesohor yang disebut-sebut Dirham dalam paparannya adalah Eliza Charlotte Van Zuylen (1863 – 1947). Perempuan berkebangsaan Belanda ini merupakan salah seorang maestro batik di Indonesia. 
Umumnya, motif batik karya-karya Van Zuylen berupa buket bunga. Secara luas, karyanya dikenal dengan Van Zuylen Bouquet.
Diakui atau tidak, melalui batik karya van Zuylen batik Belanda pada era itu mengalami masa puncaknya. Hal ini disebabkan oleh tingkat kerumitan karya van Zuylen yang paling tinggi. Ragam hias pada batik van Zuylen menampilkan detil yang kompleks. Sementara komposisi warnyanya juga beragam. Dalam hal ini, Eliza van Zuylen melakukan berbagai pengembangan motif yang mengawinkan buketan dengan unsur-unsur kebudayaan Cina yang tampak melalui corak teratai, burung merak dan detail isen-isen yang lebih rumit pada pola buketannya.
Pada masa ini, industri batik telah mendorong pula penggunaan zat pewarna sintetis. Hal ini dilakukan agar warna yang dihasilkan lebih beragam. Teknik colet dan celup dalam proses pewarnaan juga mulai gencar dilakukan.
Tentu, nama van Zuylen bukan satu-satunya. Banyak nama lain yang juga andil dalam mengembangkan batik sebagai industri. Sayang, dalam perkembangannya, industrialisasi batik yang dilakukan para pengusaha asing lambat laun justru menimbulkan dampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat pribumi. Hal ini mendorong para pengusaha batik pribumi untuk memanfaatkan batik sebagai alat untuk melawan penjajahan.
Dari sini, muncul sejumlah nama tokoh-tokoh Pekalongan, di antaranya Mufti, Mastur, Ridwan, Zen Muhammad, Aman jahri dan lainnya. Melalui usaha mereka mendirikan koperasi, industri Batik Pekalongan yang dikelola oleh para pribumi mampu menyokong upaya perbaikan ekonomi dan perlawanan terhadap penjajah.
Meski demikian, ada satu fenomena menarik pada era perlawanan penjajahan tersebut. Fenomena itu adalah perlawanan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Rifa’i yang menjadi cikal bakal lahirnya Rifa’iyah. Dalam hal ini, ulama besar K.H. Ahmad Rifa’i memperlakukan batik sebagai bagian dari denyut nadi perlawanan terhadap penjajahan yang dilandasi oleh keimanan. K.H. Ahmad Rifa’i tidak hanya memaknai batik sebagai produk budaya, melainkan pula sebagai salah satu media dalam berdakwah serta sebagai aktualisasi nilai keimanan. Melalui cara itu pula, batik kemudian menjadi sarana ampuh di dalam menyebarluaskan pemahaman nilai-nilai kesetaraan dalam pandangan agama sebagai dasar untuk melawan penjajahan.
Pemikiran K.H. Ahmad Rifa’i ini selanjutnya diungkap dengan gaya yang santai oleh Dudung Alisyahbana. Pada kesempatan itu, Dudung yang mendapat giliran kedua memaparkan pemaknaan batik dari sisi filosofis. Menurutnya, ada kekeliruan pandangan dari masyarakat pembatik masa kini yang memandang batik hanya sebagai industri, sebagai komoditas. Pandangan ini membuat batik kehilangan nilai historis, nilai kemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Membatik, menurutnya seperti orang yang tengah melakukan ritual ibadah. Batik adalah persembahan, baik kepada alam semesta maupun kepada Gusti Allah. Kepada alam semesta, batik menjadi ungkapan rasa terima kasih seorang pembatik kepada alam semesta yang telah memberikan banyak hal bagi pemenuhan kebutuhan manusia serta kekaguman atas keindahan alam semesta. Kepada Gusti Allah, batik dimaknai sebagai rasa syukur sekaligus sebagai ikrar, bahwa ia akan menjaga alam sebaik-baiknya demi terwujudnya keseimbangan, keselarasan, dan keberlangsungan hidup yang lebih baik. Melalui cara itu pula, batik dimaknai pula sebagai usaha manusia mendidik dirinya sendiri agar lebih mengenali diri dan mengenali Tuhannya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa membatik merupakan sebuah tahapan yang diyakini mampu membuat setiap pembatik menuju pada hakikat dan makrifat.
Seorang pembatik, tuturnya, semestinya menjadi orang yang memiliki kesadaran tinggi. Tidak sebatas pada kesadaran ekonomi, melainkan pula harus ditopang pula dengan kesadaran estetika, kesadaran etika, kesadaran ekologi, kesadaran sosial, kesadaran budaya, yang kesemuanya menjadi bagian-bagian kecil dalam kesadaran beragama. Dengan kata lain, seorang pembatik, mestinya seorang pribadi yang sudah tuntas dengan dirinya sendiri, sehingga pada saat ia membuat batik, ia akan menggunakan batiknya sebagai sarana beribadah.
Dia mencontohkan, dalam berbagai kasus, proses pembuatan batik yang mula-mula dilakukan para raja adalah bagian dari cara sang raja memahami makna kehadiran Tuhan di tengah-tengah mikro kosmos dan makro kosmos. Oleh sebab itu, batik yang dibikinnya menjadi simbol-simbol yang memiliki makna khusus. Sayangnya, dalam studi batik yang dilakukan oleh para pakar masa kini cenderung terjebak pada pemikiran Barat yang cenderung materialistis. Makna batik hanya dilihat dari aspek materinya. Sementara kedalaman makna, nyaris tak tersentuh.
Pemikiran Barat, menurut Dudung, tidak mampu menjangkau kedalaman makna yang dekat dengan unsur-unsur Ilahiah. Oleh sebab itu, mestinya studi batik di Nusantara ini lebih diperkaya dengan pemikiran-pemikiran yang mampu menembus dimensi religi.
“Sudah saatnya sekarang, pemikiran Barat ditinggalkan, cukup diletakkan saja di teras rumah agar kita tak terlalu tersesat oleh pemikiran mereka yang tak mau bersentuhan dengan Ilahi,” pungkasnya.

Dalam rangkaian helat Kojahan Batik yang bernuansa cinta itu juga ditampilkan beberapa penampilan musik puisi yang dilantunkan oleh pegiat Omah Sinau SOGAN serta tampil pula pentas komedi tunggal yang dilakonkan oleh para pegiat Stand Up Comedy Pekalongan. Lewat sajian itu, hadirin pun merasa terhibur. Selain itu, juga disajikan makanan tradisional khas Pekalongan.

Komentar