(Saduran kisah teladan Al Qomah)
Cerpen: Ribut Achwandi
Langkahnya kian cepat. Tak beraturan. Kadang kesrimpet.
Kadang pula tersandung, walau tak sampai jatuh. Hampir saja jatuh. Tetapi masih
saja ia bertahan, menyeret langkah kakinya, menyusuri jalanan berdebu. Di benakya
ada beban teramat berat yang tak mungkin lagi ia panggul sendirian. Benaknya
seolah menjadi arena pertarungan antara harapan melawan kecemasan. Ruwet
tapi juga menegangkan. Itulah kemudian mengapa sosok perempuan yang berjalan di
antara padang pasir itu berjalan cepat. Berburu waktu agar tak terlambat.
Tetapi, semakin
cepat ia seret kakinya, langkahnya terasa kian berat. Angin tak cukup
bersahabat. Membawa debu. Lambaian ayunan kain panjangnya menjadi beban. Sesekali
ia tampak menunduk. Sesekali menengok ke belakang. Sesekali tampak pula ia
menerawang. Berusaha menyembunyikan airmata yang bercucuran dari intaian mata
para musafir yang ia temui. Sambil berharap, ia tegar menghadapi kenyataan
pahit yang dialami.
Gubuk itu sudah
mulai tampak. Di antara pasir-pasir yang menjulang, gubuk itu tampak bercahaya
terang. Makin dekat gubuk itu di hadapan, perempuan itu makin mempercepat
langkah kakinya, setengah berlari. Berharap ada pertolongan.
Dalam jarak
beberapa meter dari gubuk itu, perempuan itu berseru, “Wahai orang pilihan! Al
Musthafa! Dengan segenap beban di pundakku ini izinkan aku mengetuk pintu
rumahmu yang mulia itu, ya Al Musthafa! Ada kabar yang hendak aku sampaikan
padamu, wahai manusia termulia!”
Di dalam rumah,
beberapa orang yang mendengar suara itu saling pandang. Tatapan mereka tampak
saling menyimpan pertanyaan yang senada, ‘siapa perempuan itu?’, ‘Mengapa ia
berteriak?’, ‘Ada apa gerangan?’. Tetapi, tak satupun yang mendapatkan jawaban.
Mereka tak mengerti apa yang sedang terjadi. Menyaksikan itu, Al Musthafa tersenyum.
Tatapan matanya tampak tenang. Kemudian menyuruh salah seorang di antara mereka
membukakan pintu bagi perempuan itu.
“Apa kalian
akan membiarkan jeritan yang penuh kepedihan itu terus bergema di luar sana?”
tanya sang tuan rumah kepada semua.
Semua tampak
menggeleng. Tetapi, tidak tahu harus berbuat apa.
“Mengapa kalian
masih berdiam diri? Tidakkah akan menjadi lebih baik jika ia dipersilakan
masuk? Setidaknya, agar jeritan itu tidak makin menjadi,” ucap lelaki agung itu
dengan tenang.
Salah seorang
dari mereka kemudian bersegera bangkit dari duduknya. Ia segera menyongsong daun
pintu. Membukakan pintu untuk perempuan itu.
Angin tiba-tiba
merangsek masuk ke dalam rumah, ketika pintu itu terbuka. Lamat-lamat terdengar
suara perempuan itu berkata, “Apakah engkau bersamanya di rumah?”
Laki-laki yang
membukakan pintu itu mengangguk.
“Kalau begitu,
sampaikan padanya, apakah aku diizinkan menemuinya?” tanya perempuan itu.
“Hanya dengan
rahmat dan berkah-Nya engkau bisa selamat. Maka, jangan kau lupakan Dia yang
telah membawamu kemari dengan selamat,” kata lelaki itu.
“Terima kasih
wahai sahabat lelaki pembawa cahaya, tetapi maaf, aku tak sedang ingin
mendengar ceramahmu. Yang aku inginkan hanya menemuinya, bukan untuk
mendapatkan ceramahmu, wahai sahabat kekasih Tuhan,” seru perempuan itu.
“Ya Tuhan, sama
sekali aku tak punya maksud menceramahimu. Semata-mata agar engkau tak lupa.”
“Keadaan sudah
genting. Aku butuh kepastian!” sangkalnya.
Mendengar
perdebatan kecil itu, lelaki berwajah cahaya itu bergegas menghampiri sahabat
terkasihnya. Diraihnya pundak lelaki bertubuh tegap itu. Dari mulutnya yang
selalu basah oleh doa-doa meluncurlah kata-kata yang indah, “Saudaraku, Allah
lebih tahu apa yang tersembunyi di balik hati setiap insan. Lisan mungkin saja salah
ucap. Tetapi, apakah kiranya kesalahan ucap itu mengganggumu, sedang Tuhan
sendiri tak pernah merasa terganggu oleh kesalahan-kesalahan yang bahkan itu
teramat besar?”
Sejenak terjeda
oleh hembusan angin. Lelaki berkulit hitam itu kemudian tersadar. Ia merasa
bersalah. “Maafkan saya, wahai kekasih Tuhan. Sikapku lancang, sungguh tak
pantas,” ucapnya.
Lelaki dengan
paras sempurna itu menepuk pundak sahabatnya. Lalu berkata, “Bukakan pintu
untuknya.”
Lelaki bertubuh
gelap itu pun tak dapat lagi menolak. Pintu ia buka. Lelaki dengan
ucapan-ucapan yang menyejukkan itu menyambut perempuan itu dengan senyuman yang
ramah. Mempersilakan perempuan itu masuk. Kemudian, kembali ke tempat ia duduk
semula.
Dari dalam
seorang perempuan cantik menyambut tamu itu dengan segelas air putih. Lalu,
mengambil duduk di sampingnya.
“Minumlah,
semoga dengan rahmat-Nya, seteguk air yang membasahi tenggorokan ini akan
memberimu ketenangan, sebagaimana Ia menurunkan air dari langit sebagai hujan
yang menyejukkan kala udara tengah gerah,” ucap nyonya rumah yang lembut itu.
“Terima kasih,
ya Tuhan, Engkau telah mengirimkan bidadari cantik ini dengan segelas air-Mu
yang suci ini,” sahut perempuan itu.
“Panasnya
pikiran, juga kalutnya hati akan sangat mudah diredam dengan air yang penuh
berkah.”
Perempuan itu
mengangguk. Mengamini.
“Nah, sekarang
sudah tenang bukan?”
Perempuan itu
mengangguk pelan.
“Jika sudah
tenang, ceritakanlah, kabar apa yang membuat kau memaksa diri menyeret kakimu
kemari?” ucap sang nyonya rumah membujuk.
Perempuan itu
diam. Berangsur-angsur kemudian, kedua bola matanya berkaca-kaca. Ia menunduk. Seolah
tiada kekuatan lagi baginya untuk membendung butiran bening di mata indahnya
itu tumpah. Sementara, angin di luar masih saja berhembus. Menyenyapkan segala
kata yang hendak diucap. Semua terdiam.
Duka yang
terselip di antara himpitan udara terasa kian menyesak. Di kedalaman batinnya,
relung terasa kian sempit. Menjadilah ia isak yang tak tertahan. Dinding hati
perempuan itu dihentak-hentak oleh kecemasan yang teramat. Ditahannya jeritan
yang teramat perih dalam ruang batinnya yang tengah hampa. Dengan menggenggam
gelas itu, kedua tangannya menekan dadanya agar tak meledak tangisan.
Tetapi, sekuat
apapun, pertahanannya koyak. Getaran dalam dadanya tak kuasa ia tahan. Kedua
tangannya gemetaran. Riak-riak kecil permukaan air dalam gelas pun makin tampak
jelas. Pelan-pelan airmatanya leleh pula. Tumpahlah airmata jatuh menghunjam ke
dalam gelas. Disertai bunyi yang lirih, tetesan airmata itu meninju air putih
yang tersisa.
Dalam isaknya,
tampak olehnya wajah suami tercinta. Kenangannya masih begitu segar dalam
ingatan.
----***---
“Bagiku, tak ada perempuan lain selain engkau, wahai kekasihku.
Engkau adalah rahmat Tuhan yang dikirimkan kepadaku. Akan sangat berdosa
kiranya aku ini jika sampai menyia-nyiakan rahmat-Nya. Sungguh, tak akan aku
biarkan apapun menimpa pada dirimu, sekalipun luka gores, sekalipun itu oleh
hembusan angin yang paling lembut. Tak akan aku biarkan kau terluka. Apalagi
hatimu. Tidak akan,” ucap lelaki berhati lembut itu.
Sang istri tak
kuasa membalas. Semua kata-katanya teramat indah. Semua kata yang
diluncurkannya teramat besar. Pipinya tampak bersemu merah jambu. Tatapannya
berbinar cerlang. Ada titik cahaya yang begitu indah terpancar. Bibir segarnya
yang tipis perlahan menyungging senyuman. Lehernya yang jenjang, seketika
kehiangan daya, tak mampu menopang wajah ayunya. Ia menunduk. Malu-malu.
Tetapi, ia merasa amat bahagia.
----***---
“Kau adalah perempuan paling beruntung di dunia ini. Sebelum
perempuan-perempuan lain menikmati semilir angin surga, kau sudah
menikmatinya,” kata seorang temannya suatu ketika dalam sebuah obrolan di
pasar.
Di tengah
kerumunan, empat perempuan itu tampak asyik bergurau. Sesekali terdengar tawa
yang ditahan. Kadang lepas. Tetapi, buru-buru mereka tahan lagi. Tak enak
dengan pandangan orang-orang.
Sementara, yang
mereka goda itu tak sedikit pun bisa berkutik.
“Eh, Jeng,
mungkin sebenarnya suamimu itu malaikat yang dikirimkan dari surga,” seloroh
yang lain.
“Ah, kalian
bisa saja,” ucap perempuan itu malu-malu.
“Apa aku pernah
membohongimu?”
Perempuan itu
menggeleng.
“Ya Tuhan, aku
iri. Aku cemburu. Mengapa tak Kau kirimkan juga manusia berhati malaikat untuk
kami ini, Tuhan?”
“Mungkin belum
saatnya.”
“Ah, kalaupun
ada waktunya, rasa-rasanya tidak mungkin terjadi. Mustahil,” kilah salah
seorang dari perempuan-perempuan itu.
“Benar, mbakyu.
Tidak mungkin,” sahut yang lainnya.
Seketika tawa
mereka lamat-lamat menghilang dari ruang ingatan perempuan yang kini tengah
duduk terpekur di hadapan lelaki pembuka pintu surga. Lalu, ingatannya kembali
pada sosok suaminya.
----***---
Diakui atau tidak, ia adalah perempuan yang paling beruntung.
Mungkin tak ada perempuan lain sebahagia dia. Mendapatkan laki-laki yang penuh
kasih sayang. Ia lelaki yang sungguh-sungguh dalam memegang setiap
kata-katanya.
Wajahnya tak
pernah kering sekalipun ditempa terik matahari. Tak pernah lepas dari air
wudlunya. Bibirnya selalu basah dengan doa-doa. Dan nama istrinyalah yang
selalu ia sebut. Tak pernah ditinggalkannya. Keningnya tak pernah lepas dari
sajadah. Tangannya selalu ringan membantu orang-orang yang kesusahan.
Setiap pulang
dari pasar, di tangannya selalu ada bingkisan untuk istri tercinta. Setiap
pulang kenduri, selalu saja ada yang dibawanya untuk perempuan yang dikasihinya.
Selalu dan selalu. Bahkan, dimana pun ia selalu menyebut istrinya sebagai
perempuan istimewa dalam hidupnya. Sebagai buktinya, ia akan selalu memenuhi
permintaan sang istri. Lihatlah, betapa banyak perhiasan melingkar di tangan,
leher, juga jemari istrinya. Sungguh, benar-benar seorang istri yang beruntung.
----***---
Suatu ketika, terdengar ketukan dari pintu rumahnya dibarengi
ucapan salam. Keduanya saling pandang. Kemudian, bergegaslah sang suami
menyongsong tamu tak diundang itu.
Pintu dibuka.
“Wa’alaikumsalam.
Masuklah, sebelum hawa dingin menyergap dan menyekap tubuhmu dalam kesakitan,
masuklah,” sambut sang tuan rumah.
Tamu lelaki itu
pun masuk. Di ruang tamu, ia disambut dengan perabot yang serba mewah.
Dindingnya penuh hiasan indah. Ada ukiran, ada pula gerabah berukir, juga
meja-meja kayu yang tampak mewah.
“Sebentar, aku
mintakan istriku membuatkanmu minuman hangat, sebelum tubuhmu menggigil
kedinginan. Aku tak mau kau sakit hanya karena tidak aku layani dengan baik,”
gurau sang tuan rumah.
Tamu itu
mengangguk. “Aku merasa tersanjung. Kau memang pandai membahagiakan orang,”
ucapnya sambil menikmati keindahan ruang tamu itu. “Aku kagum padamu. Kau
rupanya punya selera tinggi dalam urusan menghias rumah. Tentu, kau adalah
seorang seniman sejati,” lanjutnya.
“Jangan
berlebihan menilaiku seperti itu, saudaraku. Semua ini ide istriku. Sementara
aku, hanya berusaha memenuhinya,” jawab lelaki bertabiat baik itu.
Dari dalam,
sang nyonya rumah muncul. Membawakan dua gelas minuman untuk kedua lelaki yang
tengah saling melepas kerinduan. Di atas meja kecil, kedua gelas itu
diletakkan. Tanpa banyak kata, ia pun segera kembali ke ruang dalam.
“Ya, ya. Kau
memang lelaki sejati. Pintar membahagiakan istri.”
“Kebahagiaan
istri adalah kebahagiaanku. Aku akan merasa bahagia, jika dapat membuat istriku
bahagia,” seloroh lelaki berhati penuh kasih itu. “Duduklah.”
Keduanya
kemudian mengambil duduk saling berdampingan.
“Ada kabar apa
sehingga kau memaksakan diri malam-malam bertamu ke gubuk kami, saudaraku?”
“Sebenarnya tak
ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Hanya saja, ibumu kemarin
menyuruhku kemari.”
“Ibu?”
Lelaki itu
mengangguk.
“Ada perlu
apa?”
“Tak ada,
kecuali ia menyuruhku agar menengok keadaanmu. Memastikan kabarmu baik-baik
saja.”
“Ya, kami
baik-baik saja di sini. Kami bahagia. Katakan padanya, kami bahagia.”
“Ya, ya. Akan
aku katakan pada ibumu, bahwa malam ini aku telah menjadi saksi atas
kebahagiaan putra kesayagannya. Sungguh, ini akan menjadi kabar yang membahagiakan
untuk ibumu, saudaraku.”
“Kau benar.
Kebahagiaan seorang anak sudah pasti adalah kebahagiaan bagi orangtua. Kau
benar, saudaraku,” ucap lelaki yang berbahagia itu dengan sumringah.
Lelaki pejalan
malam itu membalas jawaban itu dengan senyuman. Tetapi, di balik senyumannya ia
menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang tak disadari oleh sang tuan rumah atau
memang dilupakan. sesuatu yang masih ia tunggu. Sesuatu itu tiada lain adalah
pertanyaan dari sang tuan rumah. Pertanyaan yang menandai kerinduan.
Cukup lama
terdiam. Pembicaraan terjeda oleh senyap. Jari-jari tamu lelaki itu menari-nari
di atas lututnya. Seperti tengah menghitung lamanya waktu terjeda. Sementara
sang tuan rumah, tiada juga mengajukan pertanyaan yang diharapkan.
“Ah... hampir
aku lupa. Tadi ibumu berpesan, agar aku menyampaikan ini untuk istrimu,” tamu
lelaki itu menyorongkan bingkisan. Bentuknya kotak, dibungkus dengan selembar
kain putih bersih. “Aku tak tahu apa isinya. Tetapi, ibumu berharap apa yang
ada di dalamnya bisa dipakai oleh istrimu,” lanjutnya.
“Ah, terima
kasih. Aku sungguh tak enak. Ibuku telah membuatmu repot, saudaraku,” kata sang
tuan rumah.
“Aku pikir, itu
wajar. Seorang Ibu pasti akan merindukan anaknya. Apalagi apabila ia tinggal
berjauhan.”
Kata-kata itu
disambut datar oleh sang tuan rumah. Tak terpancar sedikit pun rona kerinduan. Pembicaraan
pun ia alihkan. Sang tuan rumah memilih membincangkan jalur-jalur perdagangan
yang belakangan kian ramai. Beberapa saudagar dari negeri jauh juga kian ramai
berdatangan. Tentu, ini pula yang menyebabkan kota-kota berkembang. Ya, sang
tuan rumah berbicara laiknya seorang diplomat ulung.
Sementara sang tamu
lelaki yang datang dari tanah kelahiran sang tuan rumah itu hanya berusaha
mengimbanginya. Kadang hanya mengangguk. Kadang hanya mengatakan ‘ya’. Kadang
pula hanya memberi komentar pendek. Sungguh, baginya pembicaraan itu tak
menarik minatnya. Di kepalanya masih tersisa persoalan yang belum juga tuntas.
Ia hanya menunggu pertanyaan itu diajukan. Sekalipun hanya satu pertanyaan.
Pertanyaan tentang dan untuk ibu yang melahirkannya.
Sungguh
melelahkan. Satu pun pertanyaan tak ada. Haruskah ia pulang dan mampir ke rumah
ibu sang tuan rumah itu dengan menggenggam angin? Ataukah ia pulang dengan
membungkus kedustaan? Mengatakan pada ibu sang tuan rumah perihal pertanyaan
untuknya.
Bungkusan itu
masih saja tergeletak di atas meja. Tak disentuhnya.
----***---
Pagi tiba, mendadak sang tuan rumah terserang demam yang hebat.
Suhu tubuhnya tinggi. Menggigil. Batuk-batuk disertai pula sesak napas. Juga
muntah-muntah.
Keadaan itu
membuat istrinya sibuk. Disiapkannya kompres sekadar menurunkan suhu badan
suaminya. Disiapkan pula beberapa ramuan untuk meredakan batuk, juga dioleskan
minyak rampah-rempah untuk menghangatkan sekadar mengurangi rasa mual yang tak
tertahan.
Tetapi,
hasilnya nihil. Suhu tubuh suaminya masih saja tinggi. Malah makin parah.
Dipanggillah
tabib. Dari yang biasa sampai yang paling sakti. Tetapi tetap nihil hasilnya.
“Hanya
berpasrah diri pada Yang Maha Menyembuhkanlah satu-satunya cara yang paling
baik. Tidak ada cara lain,” kata sang tabib.
Mendengar
ucapan itu, sang istri terisak. Tangisnya tumpah.
“Tenanglah, Nduk.
Tenang. Usap airmatamu, segeralah gelar sajadah lalu bermohonlah pada-Nya,”
ujar bibinya sembari membelai rambutnya yang terurai penuh kasih sayang.
“Maaf, saya
harus pamit,” ucap sang tabib itu disambut senyuman tulus dari sang bibi.
“Terima kasih,
tuan.”
----***---
Peristiwa itu kembali lesap dalam ingatannya. Perempuan itu masih
saja menggenggam gelas. Ditekannya perasaan sedih yang tak berkesudahan itu.
Lalu, ia mencoba untuk menenangkan diri. Diusapnya airmata yang bercucuran itu.
Dihapusnya duka yang teramat itu. Kemudian, diceritakanlah apa yang membuatnya
gelisah.
“Wahai putra
Aminah, telah aku lakukan segala cara demi kesembuhan suamiku. Tetapi,
tampaknya Tuhan berkehendak lain. Aku tahu itu. Dan aku siap menerimanya.
Tetapi, apakah tak ada cara yang indah untuk menjemput kematian, ya Rasul?”
Lelaki bermata
bening itu sejenak tersenyum. Lalu berkata, “Kematian akan datang pada
siapapun. Bahkan diriku sendiri tidak bisa lepas darinya. Tetapi, menerima
dengan ikhlas panggilan-Nya adalah perihal yang sebenarnya dapat meringankan
langkah menuju kematian.” Kemudian ia pun berdiri. “Baiklah, jika kau bersedia
dengan ikhlas, lebih baik kau pulang dan jagalah baik-baik suamimu. Ia sangat
membutuhkanmu saat ini. Ia pasti tak ingin merasa kesepian,” lanjutnya.
Perempuan itu
mengangguk.
“Saudaraku,
Bilal, Shuhaib, dan juga Ammar, antarkan ia pulang dan uruslah sementara waktu
ini suaminya,” perintahnya.
Segera ketiga sahabat
itu berangkat.
Di tengah
perjalanan, perempuan yang cantik itu tak henti-hentinya menangis. Dukanya kian
menjadi. Mendengar tangisan itu, dari atas kuda tunggangannya, Bilal, Shuhaib,
dan Ammar terus berusaha menenangkannya.
“Tenanglah,
nyonya, dengan kereta ini aku pastikan kita sampai lebih cepat dari perkiraan,”
ucap Ammar menghibur.
“Bilal, bisakah
kau kendalikan kudamu itu agar lebih cepat jalannya? Setidaknya, agar kita tak
sampai larut tiba,” kata Shuhaib.
Segera Bilal
pun mengayunkan tali kekang kereta.
Dari jauh debu
berterbangan. Jalan-jalan kampung yang mereka lalui tampak sunyi. Aroma
kematian itu makin dekat. Bercampur debu yang berterbangan di udara. Langit
berangsur jingga. Sebentar lagi malam tiba.
----***---
Di rumah, Paman beserta Bibi sang tuan rumah tengah menunggu. Sang
Paman duduk di sisi pembaringan. Sementara sang Bibi baru saja membawakan
peralatan kompres. Ditaruhnya di atas meja kecil yang terletak di samping
dipan.
Kini tubuh sang
suami makin lemah keadaannya. Pada beberapa bagian tampak mulai lebam-lebam.
Wajahnya berangsur penuh keriput. Kulitnya kian kusam. Kering. Rambutnya mulai
rontok. Setiap dibilas dengan air, selalu saja ada yang lepas dari kepala.
Begitupun dengan kulitnya. Setiap kali dibasuh dengan air selalu saja ada yang
terkelupas.
Kian hari
penyakitnya kian parah. Tak ada tanda kesembuhan.
Begitu
rombongan tiba, sang istri langsung menyongsong tubuh suami yang tergolek lemah
tak berdaya. Ia bersimpuh di sisinya. Airmatanya kembali berderai.
“Tenanglah,
nyonya. Sabar,” ucap Bilal.
“Bagaimana aku
bisa tenang, sementara nasib suamiku tak menentu? Bagaimana aku bisa sabar,
sementara kematian yang dikehendaki-Nya belum juga jelas kapan datangnya?”
Bilal dan juga
semua orang yang di dalam rumah hanya menghela napas. Berusaha memahami
perasaan perempuan cantik yang masih muda ini. Tak mudah memang menghadapi
sesuatu yang tampak tak jelas. Menunggu dalam kebimbangan semakin membuat duka
kian berkarat. Menyayat luka.
“Maaf, nyonya,
bolehkah kami duduk di samping suami nyonya?” pinta Ammar.
Ia pun
mengangguk, berangsur dari duduknya. Memberi jalan kepada tiga orang yang
dimuliakan Tuhan itu.
“Bilal, kau
adalah lelaki bersuara emas, aku mohon padamu sudilah kiranya kau tuntun ia mengucapkan
kalimat tahlil. Setidaknya, agar ia tenang dan siap menerima kematiannya dengan
ikhlas,” pinta Ammar.
“Baiklah,
saudaraku,” jawab Bilal.
Dengan penuh
khidmat Bilal kemudian menuntunnya melantunkan kalimat tahlil. Diawali dengan
istighfar. Begitu indah lantunan itu. Sampai-sampai semua orang yang ada di
situ merasakan getarannya. Sangat dalam. Membuat merinding.
Tanpa terasa
airmata suami perempuan muda itu pun meleleh. Tetapi, bibirnya terkatup. Tak
mampu menirukan ucapan Bilal. Jatuh pula airmata sang istri. Menetes di
pangkuan.
“Suamiku, cobalah
tirukan ucapan Bilal. Ayolah, suamiku,” pinta sang istri.
“Baiklah,
mungkin sekali lagi, Bilal.”
Dicobanya
sekali lagi. Tetapi, keadaan masih sama. Bibirnya terkatup.
“Wahai engkau
pria yang ahli ibadah, mohonlah kepada Tuhanmu agar Ia mengizinkanmu untuk
menirukan ucapan saudaraku, Bilal. Mohonlah kepada-Nya, saudaraku,” bujuk
Shuhaib.
“Sekali lagi,
Bilal,” pinta Ammar.
Dicoba lagi.
Tetapi lagi-lagi gagal.
Ini membuat
tiga utusan Rasul itu merasa sedih. Sungguh teramat sedih. Mereka sangat
mengenal pria yang ada di hadapan mereka. Ya, ia seorang pria yang sangat taat.
Ahli ibadah. Dalam barisan jamaah, ia selalu hadir. Selalu ada di antara
mereka. Dalam setiap kali pertemuan ia juga selalu tampak hadir. Ia sangat
tekun menyimak ajaran-ajaran nabi. Tetapi mengapa, di saat jelang ajalnya,
Tuhan tak memberinya izin? Ada apa sebenarnya?
Tak kuasa
menyaksikan pemandangan itu, sang istri segera memalingkan wajahnya. Berlari
kecil menuju halaman rumah.
Sinar rembulan
tampak terang. Seolah membelah perkampungan yang sepi. Hati perempuan mudah
terluka oleh keadaan. Dalam sepi ia mudah pula hanyut. Terlarut dalam duka
tanpa kesudahan.
Dengan
sesunggukan, perempuan muda itu berkata, “Ya Tuhan, kutukankah yang Kau
timpakan padaku? Ataukah ujian-Mu? Sungguh, Maha Besar Engkau, kebahagiaan yang
selama ini kami jalani dalam seketika Kau renggut. Berilah aku kepastian,
Tuhan. Jangan Kau siksa kami berlarut-larut. Aku tak kuat, Tuhan.”
Sebuah sentuhan
lembut menghampiri pundaknya. Sentuhan penuh kasih sayang. Lalu, lamat-lamat
suara lembut seorang perempuan dewasa terdengar, “Tenangkanlah dirimu, Nduk.
Jangan kau benamkan diri dalam kedukaan. Itu akan membuat suamimu semakin
sedih. Dan akan membuat langkah suamimu kian sulit. Tenang, Nduk... tenang.”
Dari dalam,
ketiga sahabat itu pun menyusul. Mereka pamit undur diri.
Langit masih
gelap, sekalipun disepuh sinar rembulan. Tetapi, tak cukup meredam duka, juga
jerit tangis batin sang perempuan. Nyaris pudar pula kecantikannya, lantaran
airmata yang terus terkuras.
----***---
Sepekan lebih sudah. Nasib seorang suami dalam ketakpastian. Tubuhnya
mati, hatinya mati, tetapi jiwanya belum dikehendaki untuk pulang ke haribaan
rahmat-Nya.
Tanpa sadar,
sang istri tertidur pulas di samping pembaringan. Kepalanya menyandar pada sisi
kanan pembaringan. Sementara tubuhnya terduduk di lantai. Bersimpuh. Ia
kelelahan.
Pelan ia mulai
membuka matanya. Dari arah belakang tampak olehnya seberkas sinar. Begitu
terang. Bergegas ia mengalihkan pandangannya ke arah sinar terang itu berasal.
Dilihatnya sebuah kotak terbungkus kain. Ya, sinar itu datang dari kotak itu.
Dalam keadaan
yang tak cukup daya, ia paksakan tubuhnya bangkit. Didekatinya kotak itu. Ya,
kotak pemberian ibu mertuanya tempo hari. Diraihnya, lalu pelan-pelan ia buka
kotak itu. Tak ada sesuatu yang istimewa dalam kotak itu selain sehelai kain gedong.
Tetapi, manakala kain itu diangkatnya dari kotak itu, tiba-tiba sang suami
berseru. “Ibu!” disusul tangisannya yang meronta menahan rasa sakitnya yang tak
tertahan.
Ucapan itu
sangat mengejutkannya. Bagaimana mungkin suaminya bisa menyebut ibunya.
Sementara, semalam ia sama sekali tak mampu menggerakkan bibirnya untuk
menirukan ucapan Bilal. Namun belum sempat ia menanyakan perihal itu pada
suaminya, tiba-tiba sinar yang terpancar dari kain gedong itu kian terang dan
sangat terang. Sampai-sampai membuat segala tak tampak oleh mata. Putih bersih,
amat menyilaukan.
Lalu, semua
hilang.
Seketika itu
pula, perempuan cantik itu tersadar. Sesaat napasnya menyesak. Seperti ada
sesuatu yang merasuk ke dalam tubuh. Lalu, berangsur pandangan matanya menjadi
normal kembali.
Diamatinya
seluruh tubuhnya penuh keringat. Detak jantungnya juga lebih cepat. Tetapi,
berangsur normal kembali. “Ah, rupanya mimpi,” gumamnya.
Kini tatapannya
kembali tertuju pada tubuh yang lemah itu. Tubuh suaminya.
Dilihatnya mata
suaminya yang terbuka, tetapi tak dapat melihat. Mulutnya yang menganga tetapi
tiada bisa bicara. Dan telinganya, sudah tak lagi mampu menangkap suara. Detak
jantungnya lemah, sangat lemah. Nadinya juga berdenyut lemah. Nyaris tak
terbaca.
Tak mau
terlarut lagi dalam duka, ia pun segera menuju dapur. Menyiapkan air hangat
untuk keperluan kompres dan juga membersihkan tubuh suaminya itu. Kendati
begitu, masih saja ada sesuatu yang dipikirkannya. Kali ini bukan hanya soal
nasib suaminya, melainkan soal mimpinya tadi.
“Mengapa mimpi
itu seperti nyata? Seolah-olah benar-benar terjadi. Lalu, ada hubungan apa
dengan mimpi itu?” tanyanya pada diri sendiri.
Tiba-tiba
terdengar suara pintu diketuk disertai salam. Suara itu tak asing baginya.
Segera ia menuju ruang tamu, bergegas membukakan pintu.
“Ya Tuhan,
sungguh suatu kehormatan bagi hamba, menerima kedatangan tamu agung, manusia
pilihan-Mu, ya Tuhan. Mari... mari, silakan masuk, wahai putra Abdullah,”
sambutnya.
Lelaki mulia
itu pun masuk. Diikuti beberapa sahabatnya.
“Semalam Bilal,
Shuhaib, dan juga Ammar bercerita tentang suamimu. Mendengar itu aku merasa
sangat iba. Tak kuasa mendengarnya. Dan aku putuskan hari ini berkunjung ke
rumahmu. Bagaimana keadaan suamimu?”
Perempuan itu
menunduk. Tak kuasa menatap wajah lelaki yang cemerlang itu. “Maaf, ya Rasul,
keadaannya belum ada tanda membaik.”
“Bolehkah aku
menengoknya?”
“Dengan senang
hati, ya Rasul. Silakan,” ucap perempuan itu sembari memberi jalan pada lelaki
teristimewa itu. Menunjukkan arah tempat pembaringan suaminya.
Menyaksikan
keadaan suami dari perempuan muda itu, lelaki yang berjiwa lembut itu tak kuasa
menahan dukanya. Kedua matanya berkaca-kaca. Tetapi, ia tahan agar tak sampai
jatuh airmatanya. Disentuhnya dengan lembut tubuh yang lemah itu.
“Wahai lelaki
yang berjiwa gunung, hari ini aku datang menjengukmu. Terimalah kedatanganku
ini dengan perasaan sukacita. Sekalipun dalam batinmu. Telah aku dengar
semuanya tentangmu, saudaraku. Dan aku mengerti bagaimana tersiksanya dirimu.
Maka, jika Tuhan mengizinkan, hari ini semua akan menjadi terang. Terang bagi
semuanya. Untuk itu, apapun yang terjadi hari ini, terimalah dengan ikhlas,
saudaraku,” ucapnya lembut.
Lelaki dengan
langkah kaki yang anggun dan indah itu kemudian membalikkan badan. Diedarkan
tatapan matanya kepada semua yang ada. Lalu ia ajukan pertanyaan kepada semua, “Selain
istrinya, adakah keluarganya yang tinggal di sini?”
Istri dari
lelaki itu menjawab, “Ada, ya Rasul.”
“Mengapa tak
kau undang mereka kemari? Karena bisa jadi mereka lebih tahu penyakit apa yang
dideritanya.”
Sang istri itu
menunduk. Merasa bersalah.
“Maaf, jika
perkataanku menyakitimu. Tetapi, sebaik-baiknya engkau melayani suamimu, jangan
sampai engkau memutuskan tali persaudaraan di antara suamimu dengan
keluarganya.”
“Maafkan saya,
ya kekasih Tuhan. Aku tak bermaksud demikian. Ini semua lantaran aku merasa
sangat mencintainya. Begitu pula suamiku, ia sangat mencintaiku. Karenanya, ia
tak mau membuat repot keluarganya.”
“Sekarang,
katakan, siapa keluarganya?”
“Satu-satunya
keluarga suami saya yang masih ada hanyalah ibunya.”
“Ibunya?”
“Iya, ibunya.”
“Kenapa tak kau
undang ibunya kemari?”
“Maaf, ya
Rasul, ibunya sudah renta. Tak mungkin aku mengundangnya kemari. Apalagi
rumahnya sangat jauh.”
“Kalau begitu,
kau tinggal saja di rumah. Rawat baik-baik suamimu. Biarkan aku dan Bilal yang
ke sana. Akan aku ajak bicara baik-baik ibunya.”
“Terima kasih,
ya putra Ibu Aminah, kemuliaan hanya padamu, ya Rasul. Sungguh, tiada bisa aku
membalas kebaikanmu.”
Setelah lelaki
pembuka pintu surga itu berlalu dari hadapannya, kembali terpikir olehnya
tentang mimpi itu. Dan benar saja, di rak hiasan yang ditaruh di ruang tamu
itu, ia dapati sebuah kotak terbungkus kain putih. Diraihnya bungkusan itu. Dibukanya
dan diambilnya isi kotak itu.
Sungguh mengejutkan.
Apa yang ada di dalam kotak itu sama persis dengan apa yang ada di dalam
mimpinya. Ya, sehelai kain gedong. “Apa maksudnya?” gumamnya lirih.
----***---
“Hatiku telanjur sakit. Kata maaf tak cukup untuk melunasinya,”
kata perempuan tua itu di hadapan lelaki pembawa keteduhan bagi semesta.
“Aku bisa saja
salah membaca hati seorang Ibu sepertimu. Apalagi sejak lahir aku tak pernah
menyaksikan dan merasakan kasih sayang seorang Ibu. Tetapi, yang aku tahu, hati
seorang perempuan itu penuh dengan kelembutan. Penuh cinta dan kasih sayang. Bahkan,
seekor induk singa tiada mungkin membiarkan anak-anaknya terancam dalam bahaya.
Ia akan melindungi mereka sekalipun nyawa taruhannya. Bukankah manusia lebih
mulia dibandingkan dengan binatang?”
“Ucapanmu
memang benar, wahai pembawa risalah Tuhan. Tetapi, mestinya perkataan itu juga
engkau sampaikan pada putraku. Seorang putra mestinya tak akan membiarkan
ibunya terlunta-lunta. Hidup dalam kemalangan. Bahkan dalam sakitku, ia tak
pernah ada di sampingku. Sementara kau tahu, suamiku telah tiada. Aku tidur
dalam kedinginan, sementara ia asyik bermanja dengan istrinya, tanpa sedikitpun
peduli padaku. Pantaskah ia aku sebut sebagai seorang anak?” sergah perempuan
tua itu.
Lelaki yang
selalu diliputi awan itu pun tersenyum. Lalu dari bibirnya keluar kata-kata, “Wahai
Ibu yang penuh kasih sayang, jika engkau selalu mendendam pada masa lalu,
mengapa tidak sekalian saja engkau mendendam pada kehendak Tuhan? Sebab, awal
permulaan dari segala hal yang ada di muka bumi ini adalah kehendak-Nya.”
Perempuan tua
itu diam. Menunduk.
“Dengan segala
hormatku pada seorang ibu yang berhati mulia ini, aku meminta padamu, wahai ibu
yang penuh cinta, maafkanlah dia. Maafkanlah putramu. Hanya dengan maafmulah
Tuhan akan memberi jalan. Dia akan mengangkat segala derita yang dialaminya.”
Sontak, sang
ibu kali ini tetap keras hati. “Tidak! Urusan dia dengan Tuhan semata-mata
urusannya sendiri. Tidak ada hubungannya denganku! Kalaupun ada, biar ia
rasakan pula derita yang pernah aku tanggung.”
Ucapan itu telah
memukul hati lelaki yang mulia ini. Ia menunduk, lalu sebentar memalingkan
wajahnya. Di bening matanya ada butiran airmata yang nyaris jatuh. Tetapi, ia
tahan. Pundaknya mulai naik turun. Seperti menahan tangis yang tak tersuara. Kini,
ditatapnya wajah seorang sahabat yang setia, Bilal.
Menyaksikan
itu, Bilal tak kuasa memandang. Ia tak tega menyaksikan manusia kekasih Tuhan
itu menangis. Ia pun memilih menunduk. Tak menatapnya.
Dengan suara
yang berat, lalu ia mengajukan pertanyaan pada Bilal, “Sahabatku Bilal, jika
kemerduan suara yang penuh kelembutan tak mampu mengalahkan suara-suara yang
menghentak, adakah suara lain yang mampu mengalahkannya?”
Bilal pun
menjawab, “Dengan auman, seekor singa bisa mengusir seorang pemburu yang
diliputi oleh nafsunya. Sebab, sebesar apapun nafsu itu ia juga akan dapat
dengan mudah dikalahkan oleh ketakutannya sendiri.”
“Lalu, dengan
cara apakah seekor singa bisa diusir?”
“Dengan api, ya
Rasul,” jawab Bilal.
“Kalau begitu,
cari dan kumpulkan kayu bakar sekarang juga.”
Sontak Bilal
terkejut. Pikirannya melayang. Bergelut dengan dugaan-dugaan yang tidak-tidak. Jangan-jangan
ia akan membakar perempuan tua itu. Jangan-jangan ia akan membakar rumah
perempuan tua itu. Dan banyak lagi dugaan-dugaan lainnya.
“Untuk apa, ya
Rasul?” tanya Bilal memastikan.
“Kumpulkan saja
dulu.”
“Baiklah.”
Bergegas Bilal
mencari kayu bakar sebanyak mungkin. Setelah terkumpul, diikatnya kayu bakar
itu. Lalu diletakkan di hadapan lelaki yang memiliki segudang saran yang
menenteramkan itu.
“Baiklah, aku
kira cukuplah kayu bakar ini untuk kita gunakan. Sekarang, bawa kayu itu ke
rumah putra ibu ini.”
“Tunggu!” cegah
perempuan tua itu. “Untuk apa kau bawa kayu bakar itu?”
“Apakah kau
masih peduli pada putramu?”
“Aku ini sudah
terlalu tua. Tidak mungkin bisa mencari kayu bakar sendiri. Apakah kau tidak
kasihan pada perempuan tua sepertiku? Aku rasa, putraku tak membutuhkan kayu
bakar ini. Akulah yang lebih membutuhkannya,” kata perempuan tua itu.
Lelaki tampan
itu tersenyum, lalu berkata, “Darimana kau yakin jika putramu tak
membutuhkannya?”
“Dia punya
istri yang masih muda. Tenaganya juga masih kuat. Dia juga punya pembantu yang
biasa melayaninya. Tetapi, aku... aku tinggal sendirian di gubuk ini.”
“Bu, kayu bakar
ini tidak akan aku gunakan untuk menghangatkan ruangan, atau pula untuk
keperluan memasak.”
“Lalu untuk
apa?”
“Saat ini,
putramu sedang menghadapi sakaratul maut. Tetapi, ia tak juga menemui ajalnya. Dan
kayu-kayu ini akan aku gunakan untuk membantunya agar segera menemui
kematiannya.”
“Maksudmu, kau
akan membakarnya?”
“Ya.”
Sejenak jawaban
lelaki yang dimuliakan Tuhan itu terasa seperti hentakan hebat yang memukul
mundur hati perempuan tua itu. Ia terdiam. Tertunduk. Dibayangkannya ketika
putra tercintanya itu mati dibakar. Dibayangkannya kepedihan yang teramat. Sakit
bukan kepalang. Kematian dalam keadaan normal saja sudah sangat menyakitkan. Sebagaimana
yang dialami suaminya bertahun-tahun lalu. Sungguh sakit. Lalu, bagaimana
dengan kematian yang harus ditempuh dengan api? Tentu jauh lebih menyakitkan.
Lalu, perlahan
lelehlah airmatanya. Berangsur tubuhnya lunglai. Seolah-olah rontok semua
persendian, ia pun duduk bersimpuh di sisi lelaki itu. Diraihnya ujung kain
jubahnya yang bersih itu.
Dengan cucuran
airmata, ia lantas memohon pada lelaki yang mulia itu, “Tidak... jangan...
jangan kau timpakan kesengsaraan pada putraku, wahai putra Aminah. Jangan...
jangan kau bakar ia. Aku tak tega, putraku mati dibakar. Aku tak tega, ya
Rasul....”
Menyaksikan itu,
lelaki pembawa rahmat itu pun menekuk lututnya. Duduk di samping perempuan tua
itu, seraya berkata, “Engkau adalah ibu yang berhati mulia. Sungguh, putramu
akan sangat bahagia dengan kemuliaanmu, wahai Ibu. Hanya maafmu yang akan
mengantarkannya kepada kematian yang tenang dan damai. Maka, dengan kemuliaan
hatimu, sudikah kau memaafkan putramu?”
Perempuan tua
itu mengangguk. “Iya, aku maafkan. Aku maafkan dia.”
“Baiklah,
sekarang bangkitlah.” Lelaki berhati mulia itu menuntun perempuan tua itu
berdiri. Dituntunnya pula perempuan tua itu ke tempat duduknya semula. “Sekarang,
izinkan aku mengurus kematian putramu. Sungguh, seandainya aku memiliki ibu
sepertimu, aku pasti akan bangga. Lebih-lebih ibu berhati mulia sepertimu. Sekarang,
aku mohon pamit. Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah Tuhan senantiasa
menyertaimu, wahai Ibu yang berhati mulia.”
----***---
Tubuh lelaki berjiwa gunung itu tampak mulai ada gerakan-gerakan
kecil. Pandangannya mulai tampak wajar. Pendengarannya juga mulai pulih. Perlahan
lelaki pilihan Tuhan itu mendekati tubuh yang lemah itu. Dibisikkannya perlahan
talqin. Lelaki yang tak berdaya itu tersenyum. Lalu, dilafalkannya kalimat
dzikir, diakhiri kalimat syahadat.
Kemudian,
hembusan napas panjang yang lembut mengakhiri hidupnya.
“Innalillaahi
wainnailaihi raajiuun....”
Pekalongan,
17-21 November 2016
Komentar
Posting Komentar